HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN HUKUM
Makalah ini
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Hukum.
Dosen Pengampu:
Moh. Hipni, S.HI., M.HI
Disusun Oleh :
Dery Ariswanto (130711100086)
PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillah puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah SWT. Yang telah memberika taufik, rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga kami mampu menyelesaikan makalah kami yang membahas tentang “Hukum Adat di Indonesia dan Hukum”. Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Hukum.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan makalah ini. Dalam tulisan makalah, kami sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami.
Yang terakhir, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan
bagi pembaca. Amiin.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb
Bangkalan, 17 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Cover..........................................................................................................................
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang................................................................................................ 1
B.Rumusan Masalah............................................................................................ 2
C.Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Hukum
Adat di Indonesia.............................................................................. 3
B.
Hukum
Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum.................................. ....... 8
C.
Pemikiran
Soepomo................................................................................ ..... 15
D.
Peran
dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia....................................... 18
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan.................................................................................................... 25
B.Saran.............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Apabila berbicara tentang adat “custom”
berarti akan berbicara tentang wujud gagasan kebudayaan yang
terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan serta hukum yang satu
dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. Sementara
adat-istiadat (customs) merupakan
kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya
dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial
kebudayaan itu.
Hukum (law) adalah sistem pengendalian
kehidupan masyarakat yang terdiri atas aturan adat, undang-undang,
peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan
dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat yang
bersangkutan.Hukum adat (customary law)
adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat
yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat
terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang
berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum
adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam
masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum
adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi
kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan
memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai
kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang
nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan
kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi
nilai tradisional. Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan
nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang
bersifat dinamis, luwes danselektif, serta menyesuaikandengan situasi dan
kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
Dengan
demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian
tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat penataan
keseluruhan.Dengan demikian dalam upaya pembangunan sistim hukum harus
memperhatikan Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup didalam masyarakat, karena
jika hukum positif yang diberlakukan didalam masyarakat tidak sejalan dan
bertentangan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum
positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan
dengan efektif.
B.
Rumusan Masalah
Bersadarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat diketahui beberapa rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
Hukum Adat di Indonesia?
2.
Bagaimanakah
Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum?
3.
Bagaimanakah
Pemikiran Soepomo?
4.
Apakah
Peran dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
Bersadarkan
rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui beberapa tujuan penulisan makalah
ini. Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui Hukum Adat di Indonesia.
2.
Untuk
mengetahui Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum.
3.
Untuk
mengetahui Pemikiran Soepomo.
4.
Untuk
mengetahui Peran dan kedudukan Hukum Adat di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Adat di Indonesia
1. Pengertian
Hukum Adat
Istilah
hukum adat adalah merupakan terjemahaan dari istilah (bahasa) Belanda “Adat
Recht” yang awalnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje nama
Muslimnya H. Abdul Ghafar di dalam bukunya berjudul “De Atjehers” yang menyatakan
bahwa:[1]
“Hukum
adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat yang tidak mempunyai
sanksi adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang terujud
sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam masyarakat. Pada kenyataan antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu batasnya
tidak jelas.”
Hukum
adat menurut Prof. Dr. Cornellis Van Vollenhovenadalah aturan-aturan perilaku
yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang timur asing yang disatu pihak
mempunyai sanksi (maka dikatakan sebagai hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan
(maka dikatakan adat).[2]
Sedangkan
pengertian hukum adat menurut Soejono Soekanto, beliau menyatakan bahwa hukum
adat adalah hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang diulang-ulang
dalam bentuk yang sama.[3]
Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan perwujudan dari
suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup
yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat
tersebut berlaku.[4]
2. Manfaat
Mempelajari Hukum Adat
Menurut
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan manfaat hukum adalah tersebut adalah:
dengan memepelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya hukum Indonesia,
kita tidak menolak budaya hukum asing sepanjang ia tidak bertentangan dengan
budaya hukum Indonesia. Begitu pula dengan mempelajari hukum adat maka akan
dapat kita ketahui hukum adat yang mana yang ternyata tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana yang mendekati keseragaman yang
dapat diperlakukan sebagai hukum nasional.
3. Unsur-Unsur
Pembentukan Hukum Adat
Hasil
seminar Hukum adat dan pembinaan hukum nasional diselenggarakan di Yogyakarta
oleh pakar-pakar hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dinyatakan bahwa
terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi oleh agama.
Menurut Prof. Dr. Mr.
Soekanto unsur-unsur adat itu adalah:“Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah
menurut kebenaran, keadaan yang bagian terbesar terdapat di dalam hukum adat,
maka jawabanya adalah hukum Melayu Polinesia yang asli itu dengan di sana sini
sebagai bahagian yang sangat kecil adalah hukum agama”
Menurut Prof.
Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama beliau menyatakan bahwa:[5]“unsur
lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya adalah unsur-unsur
keagamaan, teristimewa unsur-unsur dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama
Kristen, dan agama Hindu”.
a. Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan danrakyat mentaati
serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud
mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris
necessitatis).[6]
4. Corak dan Sistem Hukum Adat
a. Corak Hukum Adat
Prof. Hilman
Hadikusumahmenegaskan bahwa Hukum adat Indonesia yang normatif pada umunya
menunjukan corak-corak sebagai berikut:
1)
Tradisional
Hukum
adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun dari
zaman nenek moyang sampai ke anak-anak cicit sekarang dimana keadaannya masih
tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
2)
Keagamaan
Hukum
adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (Magis Relegius) artinya perilaku
hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang
Ghaib atau berdasarkan ajaran ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut
kepercayaan bangsa Indonesia, bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba
berjiwa (Animisme), benda-benda itu punya daya bergerak (dinanisme)
disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan
manusia (Malaikat, Jin dan lain-lainya), dan alam sejagat ini ada kerena ada
yang mengadakan yaitu Yang Maha Pencipta. Oleh karenanya apabila manusia akan memutuskan atau menetapkan,
mengatur, menyelesaikan hajat biasanya berdo’a dan memohon keridhoan yang Maha
Pencipta.
3)
Kebersamaan
Hukum adat mempunyai
corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya dia lebih
mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh
kepentingan bersama (satu untuk semua, semua untuk satu) (one for all, all
for one). Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dengan yang
lainya didasarkan oleh rasa kebersamaan kekeluargaan, gotong royong, tolong
menolong.
4)
Konkrit dan Visual
Corak hukum adat adalah
konkrit, artinya jelas, nyata, tidak berujud, Visual artinya dapat terlihat,
tampak, terbuka, tidak sembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam
hukum adat itu adalah terang dan tunai, tidak samar-sama, diketahui, dan
didengar orang lain, dan nampak terjadi ijab kabul (serah terima).
5)
Terbuka dan Sederhana
Corak hukum adat
terbuka artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asal
saja tidak bertentangan dengan hukum adat sendiri. Sederhana artinya bersahaja,
tidak rumit, tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan
saling percaya mempercayai.
Keterbukaanya
misalnya dapat dilihat dari masuknya agama Hindu dalam hukum perkawinan adat
yang disebut Kawin Anggau yaitu jika suami wafat maka si istri kawin lagi
dengan saudara suami. Atau masuknya agama
Islam di dalam hukum waris adat yang disebut “pembagian segendong sapikul”
(bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita 2:1)
Keserdahanaanya, dapat
dilihat dari contoh sebagai berikut:
Terjadinya
transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyura. Misalnya di dalam
perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap cukup adanya
kesepakatan keduanya secara lisan.
6)
Dapat Berubah dan Menyesuaian
Menurut Prof. Dr.
Soepomo, SH sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Van Vollenhoven dinyatakan
sebagai berikut:
Hukum adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum
adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya, hukum adat menunjukan
perkembangan”.
7)
Tidak Dikodifikasi
Hukum
adat kebanyakan tidak ditulis walaupun ada juga di antaranya yang dicatat,
bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang sistematis, namun hanya sekedar
sebagai pedoman dan bukan mutlak harus dilaksanakan oleh anggota masyarakat,
kecuali yang bersifat perintah Tuhan.
8)
Musyawarah dan Mufakat
Hukum adat mengutamakan
adanya musyawarah dan mufakat di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan
dan ketetanggaan baik untuk memulai sesuatu pekerjaan maupun di dalam
mengakhiri pekerjaan apalagi yang bersifat peradilan di dalam menyelesaikan
penyelisihan antara satu dengan lainya.
b. Sistem Hukum Adat
Tentang sistem hukum adat, Soepomo menyatakan bahwa
sistem tersebut didasarkan pada suatu kebutuhan yang berdasarkan atas kesatuan
alam pikiran. Untuk menyelami sistem tadi, maka seseorang harus menyelami
dasar-dasar alam pikiran yang hidup di daam masyarakat Indonesia. Untuk itu
harus diteliti susunan persekutuan-persekutuan hukum di lapangan rakyat, yaitu
organisasi desa, nagari, hutan, dan seterusnya (Soepomo 1966:22). Selanjutnya
Soepomo berkata, bahwa (Soepomo 1966:28,29): “Berlakunya suatu peraturan hukum
adat adalah tampak dalam putusan (penetapan) petugas hukum, misalnya putusan
kumpulan desa, putusan kepala desa, putusan hakim perdamaian desa, putusan
pegawai agama, dan sebaginya masing-masing dalam lapangan kompetensinya
sendiri-sendiri.
Yang dimaksudkan dengan putusan penetapan itu adalah
perbuatan atau penolakan perbuatan (non
action) dari pihak petugas hukum dengan tujuan untuk memelihara atau
untuk menegakkan hukum. Berhubung dengan
itu, penyelidikan setempat (field
research) hukum adat harus terutama ditujukan kepada research tentang putusan-putusan petugas hukum. Disamping itu,
perlu ditinjau sikap penduduk dalam hidup sehari-hari terhadap hal-hal yang
kita ingin, untuk mendapatkan keterangan dengan penyelidikan setempat. Dengan
kata lain, kita harus menyelidiki pula kenyataan sosial (social reality) yang merupakan dasar bagi para petugas hukum untuk
menentukan putusan-putusannya.”[7]
Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam
fikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat.
Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa
perbedaan diantaranya:[8]
Hukum Barat
|
Hukum Adat
|
- Mengenal
hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku
terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
|
- Tidak
mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak ditangan hakim
|
- Mengenal
Hukum Umum dan Hukum Privat
|
- Berlainan
daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
|
- Ada
Hakim Pidana dan Hakim Perdata
|
- Pembetulan
hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)
|
B.
Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum
1.
Hukum Adat dalam Pembangunan
Hukum tidak tertulis
atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian
berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta mempelancar proses
interaksi tersebut.[9]Dengan
demikian dapatlak dikatakan, bahwa manfaat hukum adat bagi pembangunan atau
pembangunan hukum Khususnya adalah sebagai berikut:
a. Adat kecenderungan di
dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan dan
fungsi.
b. Di dalam hukum
adat biasanya perilaku-perilaku dengan gejala akibat-akibatnya dirumuskan
secara menyeluruh, terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksinya yang
negatif.
c. Biasanya di dalam hukum
adat dirumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi.
Sudah tentu bahwa
konteks sosial dari masing-masing suku bangsa, akan memberi warna tertentu pada
hukum adat tersebut. Namun tidaklah mustahil, bahwa dari perbedaan-perbedaan
yang ada dapatlah dicari persamaan-persamaan di dalam asas-asas hukumnya. Oleh
karena itu maka di dalam mengadakan identifikasi terhadap hukum adat yang
mungkin berperan di dalam pembangunan, maka perlu diadakan kegiatan, kegiatan
ilmiah untuk menentukan, hal-hal sebagai berikut:
a. Identifikasi terhadap
hukum adat yang menunjang pembangunan, hukum adat mana perlu diperkuat.
b. Hukum adat bersifat
netral terhadap pembangunans
c. Hukum adat bertentangan
dengan pembangunan, dengan kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:
1) Hukum adat secara tegas
bertentangan dengan pembangunan
2) Hukum adat yang
bertentangan dengan pembangunan, akan tetapi yang dengan sendirinya terhapus di
dalam proses pembangunan
3) Hukum adat yang
bertentanagan dengan pembangunan, akan tetapi tidak terbukti relevan lagi.
Di samping hal-hal
tersebut di atas maka diperlukan pula identifikasikan, hal-hal tersebut:[10]
a. Hukum adat yang dianut
kerena diperintahkan oleh penguasa adat.
b. Hukum adat yang dianut
karena kolektifitas menghendakinya, pada halnya belum tentu adil.
c. Hukum adat yang dianut,
kerna dianggap adil oleh warga-warga masyarakat secara individual.
2. Sistem Pegendalian
Sosial
Pengendalian
sosial adalah segenap cara dan proses yang di tempuh kelompok atau orang
masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai denagn harapan
kelompok atau masyarakat. Hukum adat sebagai
sistem pengendalian sosial telah memberikan perananya dalam rangka terciptanya
keteraturan masyarakat. Di sinilah pentingnya keberadaan hukum adat sebagai
sistem pengendalian sosial yang diharapkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma
sosial sehingga terciptanya keselarasan dalam kehidupan sosial.[11]
Beberapa jenis
pengendalian sosial adalah:
a. Pengendalian Preventif
Merupakan kontrol
sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi
“mengancam sanksi” atau usaha pengcegahan terhadap terjadinya penyimpangan
terhadap norma dan nilai. Jadi usaha pengendalian sosial yang bersifat
prefentif dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan
b. Pengendalian Represif
Kontrol sosial yang
dilakukan setelah terjadinya pelanggaran dengan masksud hendak bertujuan
untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan.
c. Pengendalian Sosial Gabungan
Merupakan
usaha mencegah terjadinya preventive, sekaligus mengembalikan penyimpangan yang
tidak sesuai dengan norma-norma social.
Jenis-Jenis
Pengendalian Sosial:
a. Cemoohan,yaitu
kritikan secara langsung terhadap seseorang atau kelompok jika di anggap
menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
b. Gossip, yaitu
bentuk pengendalian social atau kritik social yang di lontarkan secara tertutup
oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang menyimpang perilakunya.
c. Pendidikan,
dapat membina dan mengarahkan seseorang pada pembentukan sikap dan tindakan
yang baik.
d. Teguran, yaitu
kritik social yang di sampaikan secara terbuka oleh masyarakat terhadap warga
masyarakat yang menyimpang perilakunya.
e. Ajaran agama,
merupakan salah satu saran pengendalian social yang efektif. Akan menjadikan
ajaran agamanya sebagai pedoman hidup dalam bersikap dan berprilaku.
f. Ostraisisme,
adalah suatu bentuk pengucilan.tujuannya adalah agar seseorang atau kelompok
yang bersangkutan tidak lagi mengulangi pelanggaran yang pernah di alami.
g. Fraundules,
adalah pengendalian social dengan jalan meminta bantuan pihak lain yang di
anggap dapat menyelesaikan masalah yang di hadapi.
h. Intimidasi,
adalah pengendalian social yang dilakukan dengan cara menekan , memaksa,
meneror atau menakut-nakuti,dll.
i. Hukuman, yaitu
alat pengendalian social yang paling tegas dan nyata sanksinya.sanksinya berupa
hukuman fisik,pidana, denda dan lain-lain.
3. Pendekatan Sosiologis
Serta Hukum Adat dalam Pembangunan
Hukum pasa hakekatnya merupakan suatu realitas sosial, karena
mempunyai karakteristik yang selalu merujuk pada realitas sosial. Pertama,
hukum menghendaki adanya stabilitas dalam masyarakat. Kedua, hukum sebagai
kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antar manusia. Ketiga, hukum cenderung
untuk mementingkan ketertiban.
Suatu pendekatan sosiologis, biasanya bersifat Pragmatis yang artinya
menganalisis gejala-gejala sosial dengan agak mengabaikan konteks kebudayaannya
secara menyeluruh. Pendekatan sosiologis sifatnya lebih pada orientasi
permasalahan. Skibstnys, pendekatan sosiologis memusatkan perhatian terhadap
bagian tertentu dari masyarakat atau kebudayaan.[12]
Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam
masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta
memperlancar proses interaksi tersebut. Sehingga, seringkali hukum adat
dinamakan “ a system of stabilized interactional expentacies”. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa manfaat hukum adat bagi
pembangunan hukum, adalah:
a. Adanya kecenderungan didalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan
perilaku mengenai peranan atau fungsi.
b. Merumuskan secara menyeluruh terhadap prilaku-prilaku serta segala
akibatnya.
c. Merumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi.
Jadi, konteks sosial dari masing-masing suku bangsa akan memberikan corak
warna tertentu pada hukum adat.
4. Dasar Hukum Adat dari
Sudut Pandang Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologi masyarakat, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pendasaran Hukum Adat yang bersifat mengikat, yaitu di
antaranya sebagai berikut:
a. Masyarakat
Apabila hendak
dibicarakan gejala hukum dengan segala aspeknya,maka mau tak mau harus juga
disinggung perihal masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut. Hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu
sudut tertentu, sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi, dan lain
sebagainya. Masyarakat itu sendiri dapat diartikan sebagai manusia yang hidup
bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya. Jadi
masyarakat merupakan suatu sistem, yakni sistem sosial.
Masyarakat (society)
adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta menyebutkan:
“Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia
(sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan
yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas
sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah
atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas
mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan
menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma,
ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan.
Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok
dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk
pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat
tersebut)”.
Lingkungan masyarakat adalah
suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan
individu dengan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada
dalam masyarakat yang lebih luas dimana lingkungan sosial tersebut merupakan
bagian daripadanya. Lingkungan sosial dimaksud dapat terwujud sebagai
kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga
terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebahagian dari dan
berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan
atau kelompok sosial.
b. Kebudayaan
Sementara itu, kebudayaan (culture) adalah keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.
Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem
ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan
tersistem dalam tiga wujud ialah: ide, aktivitas, dan kebendaan yang
masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem
sosial dan kebudayaan kebendaan.
Seorang dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia yang bernama
Selo Soemardjan menyatakan bahwa kalau
masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia yang hidup bersama cukup lama
sehingga dapat menciptakan satu kebudayaan, maka di Indonesia sekarang ada
banyak masyarakat.” Selo Soemardjan lebih menitikberatkan suatu kemajemukan masyarakat itu pada
“Culture”. Karena kebudayaan dapat menjadi suatu ciri (khas) dari suatu
masyarakat.[13]Sehingga
kebudayaan Indonesia bertambah banyak, dan hal itu dapat dibedakan menjadi 3
macam kebudayaan:
1) Super Culture, yaitu satu kebudayaan untuk seluruh
masyarakat Indonesia. Misalnya satu bahasa Indonesia, satu Ideologi.
2) Culture, yaitu kebudayaan yang sejak dahulu dimiliki
oleh tiap-tiap suku bangsa.
3) Sub-Culture, yaitu variasi dari culture yang dimiliki
oleh tiap-tiap kelompok atau golongan dalam suatu suku bangsa, misalnya dialek
bahasa.
c. Hukum adat
Menurut Dr. Soepomo, “tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya
merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun
hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa
Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum
barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami
dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Unsur-unsur yang menjadi dasar bagi hukum adat biasanya dinamakan “gegevens van het Recht”, mencangkup unsur idil dan unsur ril.Unsur Idil terdiri dari rasa
susila, rasa keadilan dan rasio manusia. Rasa susila merupakan suatu hasrat
dalam diri manusia, untuk hidup dengan hati yang bersih. Rasa keadilan manusia
bersumber pada kenyataan, dimana setiap pribadi maupun golongan tidak merasa
dirugikan karena perbuatan atau kegian golongan lain. Sementara unsur Ril mencakup manusia, lingkungan alam, dan
kebudayaan. Manusia senantiasa dipengaruhi oleh unsur pribadi maupun lingkungan
sosialnya. Lingkungan alam merupakan lingkungan diluar lingkungan sosial yang
dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan hasil ciptaan
manusia dalam pergaulan hidup, yang terwuud dalam hasil karya, rasa, dan cipta.[14]
Hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khususnya pada
masyarakat-masyarakat dengan struktur dan kebudayaan sederhana. Kesadran hukum
sebenarnya merupakan inti daripada sistem budaya suatu masyarakat, kesadaran
hukum itulah yang menimbulkan berbagai norma-norma, oleh karena inti dari
kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk senantiasa hidup secara teratur.
C.
Pemikiran Soepomo
Walaupun pada hakikatnya ilmu sosiologi hukum
tersebut masih baru bagi Indonesia, namun di dalam karya-karya para sarjana
hukum Indonesia seringkali terselip konsep-konsep sosiologi hukum walaupun
tidak dinyatakan dengan tegas. Mungkin hal itu bukan merupakan hasil pemikiran
yang secara langsung ikut membentuk sosiologi hukum, namun dapatlah dikatakan
bahwa untuk perkembangan ilmu pengetahuan (sosiologi) hasil karya tersebut tak
dapat diabaikan begitu saja dan bahkan harus dianalisis secara seksama. Di antara
sekian banyaknya sarjana-sarjana hukum tadi, akan kami kemukakan ajaran-ajaran
Soepomo (1903-1958) yang semasa hidupnya menjadi salah seorang sarjana hukum
adat yang terkemuka di Indonesia. Ajaran-ajaran Soepomo yang mengandung
aspek-aspek sosiologi hukum terutama terhimpun di dalam buku Bab-bab tentang
hukum adat, yang terbit beberapa saat setelah beliau wafat. Dari keseluruhan
isi buku tersebut hanya akan di uraikan pendapat-pendapat Soepomo tentang
sistem hukum adat, peralihannya, tata susunan masyarakat Indonesia, dan tentang
hukum adat waris. Hal ini disebabkan karena justru dalam bab-bab tersebut di
temukan aspek-aspek sosiologi hukum yang walaupun tidak semuanya berasal dari
Soepomo (tetapi dari tokoh-tokoh hukum adat seperti C van Vollenhoven, B ter
Haar Bzn, dan lain-lain), tetapi mengintroduksikan suatu tinjauan yang relatif
baru terhadap penelitian hukum adat di Indonesia.
Yang lebih penting lagi adalah kelanjutan uraian
Soepomo, sebagai berikut, (Soepomo 1966:28,29): “Cara (metode) penyelidikan
setempat, ialah mendekati para pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik
pandai, orang-orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya.
Kepada orang-orang yang didengar itu jangan ditanyakan pendapat mereka tentang
bunyi peraturan adat mengenai ini atau itu, melaikan yang ditanyakan hanya
fakta-fakta, hanya kejadian-kejadian yang telah dialami atau diketahui sendiri
oleh mereka. Hanya dengan metode itulah dapat dicapai keterangan tentang
peraturan-peraturan yang benar-benar berlaku didalam hidup bersama didaerah
yang di selidiki dan berdasarkan keterangan-keterangan semacam itu di lukiskan
hukum adat yang hidup di daerah itu. Dalam hal itu kita dapat mencatat bahwa
dalam penyelidikan hukum adat yang menentukan bukan banyaknya jumlah perbuatan-perbuatan
yang terjadi, meskipun jumlah itu adalah penting sebagai petunjuk bahwa
perbuatan itu adalah dirasakan sebagai hal yang diharuskan oleh masyarakat.
Meskipun jumlah perbuatan-perbuatan yang sama di dalam daerah yang bersangkutan
itu hanya ada dua, apabila kedua perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai hal yang memang sudah seharusnya, maka dari dua fakta it
sudah dapat ditarik kesimpulan adanya suatu norma hukum. Tentang soal luasnya
daerah, di mana sesuatu norma hukum adat adalah berlaku didalam daerah hukum
yang merupakan kesatuan sosiologis.”
Perihal fungsi seorang hakim dengan tegas dikatakan
oleh Soepomo, bahwa hakim berwenang dan bahkan wajib untuk menelaah apakah
suatu peraturan hukum adat yang telah ada mengenai soal yang dihadapi masih
selaras atau tidak dengan kenyataan sosial sehubungan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hakim tidak boleh
mengadili semata-mata menurut perasaan keadilan pribadi, tetapi dia terikat
pada nilai-nilai yang secara nyata berlaku dalam masyarakat. Dengan
keputusan-keputusannya diharapkan bahwa seorang hakim memperkuat kehidupan
norma hukum yang bersangkutan. Masyarkat selalu bergerak dan rasa keadilanpun
berubah-ubah, sehingga pada suatu waktu hakim dapat memberikan keputusan yang
menyimpang dari keputusan-keputusan yang diambil pada waktu yang lampau
mengenai hal-hal yang serupa, oleh sebab itu, kenyataan social di dalam
masyarakat berubah, sehingga keadaan yang baru tersebut menghendaki
penetapan-penetapan baru.
Tentang tata susunan rakyat, Soepomo mengutip
pendapat C van Vollenhoven (yang tercantum dalam adatrecht III, halaman 3),
sebagai berikut: “bahwa untuk mengetahui hukum yang terutama perlu diselidiki
waktu apabila dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badaan
persekutuan hukum, dimana orang-orang yang di kuaasai oleh hukum tersebut,
hidup sehari-hari. Penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak
di dasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.”
(Soepomo 1966:43)
Dengan mengutip definisi ter harr Bzn (dari buku
Beginselen en Stelsel van het Adatrecht halaman 13-14), dikatakannya bahwa
persekutuan hukum merupakan pergaulan hidup didalam golongan-golongan yang
bertingkaah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir, dan batin.
Golongan-golongan tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan
masing-masing warga golongan tersebut merasakan merasakan kehidupan tadi
sebagai suatu kewajaran. Tak ada yang mempunyai pikiran akan adanya kemungkinan
untuk membubarkan golongan tersebut. Dikatakan pula, bahwa
persekutuan-persekutuan tadi didasarkan pada ikatan darah atau lingkungan
daerah. Persekutuan-persekutuan hukum tersebut tidak merupakan suatu badan
kekuasaan, melainkan kehidupannya bersifat kekeluargaan dan merupakan kesatuan
hidup bersama. Kepala masyarakat tersebut dianggap sebagai ketua dari suatu
keluarga besar yang memipin pergaulan hidup tersebut.
Tentang hukum adat waris, Soepomo menyatakan sebagai
berikut, (Soepomo 1966:72-73): “Hukum adat bersendi atas prinsip-prinsip yang
timbul dari aliraan-aliran pikiran komunal dan konkret dari bangsa Indonesia.
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang menagtur proses penerusan
serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
(immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada
turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses
tersebut tidak menjadi ‘akuut’ sebab orang tua meninggal dunia. Memang
meninggalnya bapak dan ibu adalah suatu proses penting bagi prose situ, akan
tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan
terus, hingga angkatan (generatie)
baru yang dibentuk dengan mencar atau mentasnya anak-anak merupakan keluarga
baru dan mempunyai dasar kehidupan material sendiri dengan barang-barang dari
harta peninggalan orang tuanya sebagai fondamen segala barang tersebut
merupakan dasar material bagi kehidupan keluarga dan akan disediakan pula untuk
dasar materiil bagi kehidupan turunan dari keluarga itu.”
Ajaran-ajaran Soepomo
tersebut banyak sekali mengandung pendekatan-pendekatan sosiologis dan
antropologis, walaupun mungkin hanya merupakan alat pembantu saja bagi analisis
hukum saja tidak cukup, oleh karena hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu
kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, dan pandangan hidup, yang
keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakatnya sebagai wadahnya. Untuk dapat
mengerti benar-benar hukum adat tersebut sebagai penjelmaan jiwa masyarakat
Indonesia, perlu dittelaah terlebih dahulu struktur berpikir, corak, dan sifat
masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan merupakan mentalitas yang
mendasari hukum adat.[15]
D.
Peran dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat merupakan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian
besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam
masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum
adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih
kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan
sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika
ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum
tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam
masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat
dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat Indonesia.
Adapun kedudukan dan peranan hukum
adat adalah sebagai berikut:
1.
Hukum
adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi
Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan
perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum
kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2.
Pengambilan
bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya
berarti:
a.
Penggunaan
konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam
norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang
dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila
dan Undang-Undang Dasar.
b.
Penggunaan
lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan
zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
c.
Memasukkan
konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari
hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum
Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
3.
Di
dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu
unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan
nasional merupakan intinya.
4.
Dengan
terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka
kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.
Namun, kedudukan hukum adat jika
dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Yurisprudensi adalah sebagai
berikut:
1.
Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
Konstitusi Indonesia sebelum
amandemen tidak secara tegas menunjukkan pengakuan dan pemakaian istilah hukum
adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan bahwa ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal
33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan.
Namun setelah amandemen konstitusi,
hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal
18B ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap
ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan
ini diberikan oleh Negara:
a.
Kepada
eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang
dimilikinya;
b.
Eksistensi
yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya
pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan
karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
c.
Masyarakat
hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
d.
Dalam
lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
e.
Pengakuan
dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi
kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya
tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh
dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan
sentimentil;
f.
Pengakuan
dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu
negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 :
32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945
tersebut maka:
a.
Konstitusi
menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya
b.
Jaminan
konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup
c.
Sesuai
dengan perkembangan masyarakat
d.
Sesuai
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
e.
Diatur
dalam undang-undang
Dengan demikian konsitusi ini,
memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
a.
Syarat
Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
b.
Syarat
Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan
keberlakuan diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan
bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.
2.
Kedudukan Hukum Adat dalam Putusan Hakim
Sistem hukum yang berlaku bagi
bagian terbesar dari masyarakat indonesia adalah hukum adat. Ini dibuktikan
bahwa sebagian besar masyarakat indonesia masih banyak tunduk pada hukum adat,
walaupun untuk bidang-bidang tertentu dari hukum adat itu.[16]
Artinya, masyarakat menganggap bahwa hukum yang menjadi patokan untuk
berperilaku adalah hukum adat.
Kalau dalam hukum adat juga berlaku
secara prespektif , hukum adat menjadi dasar bagi keputusan badan-badan
peradilan resmi atau peraturan perundang-undangan, yang mengakui hukum adat
sebagai dasarnya. Namun, sebaliknya juga membatasi berlakunya hukum adat,
misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau dikenal dengan undang-undang Pokok
Agraria.
Undang-undang ini merupakan
seperangkat kaidah hukum tertulis yang sah secara yuridis, tetapi masih menjadi
pernyataan tentang keefektifannya dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum adat
masih tetap berlaku secara deksriptif, secara prespektif, berlakunya dibatasi.
Hukum adat masih bersifat
deksriptif, karena peraturan dalam hukum adat seperti perundang-undangan yang
berlaku secara yuridis formal belum tentu dianggap adil, meskipun hukum adat
dianggap sebagai hukum yang hidup. Sebab, ada hukum adat yang diberlakukan
secara paksa oleh penguasa adat, ada hukum yang diberlakukan secara kolektiva,
ada yang secara sukarela mentaati hukum adat oleh masyarakat.
Konsep yuridis masyarakat adat
indonesia dapat ditinjau dari kewenangan hak ulayat masyarakat adat ke luar dan
ke dalam. Hak ulayat ke dalam dapat diartikan bahwa hanya masyarakat adatlah
yang dapat melakukan perbuatan hukum di lingkungan hukumnya dan dapat mengambil
keuntungan dari lingkungan adatnya.
Kewenangan ke luar masyarakat hukum
adat dapat diartikan sebagai pernyataan bagi pihak luar masyarakat hukum adat
tersebut untuk tidak mengambil keuntungan terhadapnya.[17]
Maka dapat disimpulkan bahwa kewengan hukum muncul bagi masyarakat adat untuk
melakukan perbuatan hukum sebatas pada wilayah kesatuan.
Dalam pengertian yurisprudensi yang
dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata, bahwa putusan
yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum
perkembangan hukum, sehingga perkara yang diputus berkaitan erat dengan
perubahan sosial dan kondisi ekonomi.[18]
Ini berarti hakim selalu mengambil keputusan menurut putusan-putusan dalam
perkara yang sama dimasa lalu, maka hakim telah berperilaku hukum adat.
Kedudukan hukum adat dalam
yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan yang tegas oleh karena
yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan membimbing
perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam
masyarakat. Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim disebutkan:[19]
a.
Hendaklah
hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang
bersifat bilateral/ parental memberikan
kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
b.
Dalam
rangka pembinaan hukum perdata nasional, hendaklah diadakan publikasi
yurisprusdensi yang teratur dan tersebar luas.
c.
Dalam
hal terdapat pertentangan antara perundang-undang dan hukum adat hendaknya
hakim memutuskan berdasarkan undang-undang bijaksana.
d.
Demi
terbinanya hukum perdata nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita,
diperlukan hakim-hakim yang berorientasi kepada pembinaan hukum.
e.
Perdamaian
dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum
hendaklah diusahakan didamaikan.
3.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum
adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu
cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi
tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah
Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan
kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu
membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku
Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan
Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara
dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.[20]
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum
Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24
Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk
menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional
bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut
tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan
yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
a.
Penyamaan
persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
b.
Kriteria
dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat
hukum adat (Pasal 2 dan 5).
c.
Kewenangan
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang
menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat,
hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat
masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana
hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan
perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam
peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang
mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi,
sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi adalah merupakan kebiasaan normatif,
yaitu kebiasaan yang terujud sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam
masyarakat.
2.
Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi
dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan
serta mempelancar proses interaksi tersebut.
3. Ajaran-ajaran
Soepomo yang mengandung aspek-aspek sosiologi hukum terutama terhimpun di dalam
buku Bab-bab tentang hukum adat, yang terbit beberapa saat setelah beliau
wafat. Dari keseluruhan isi buku tersebut hanya akan di uraikan
pendapat-pendapat Soepomo tentang sistem hukum adat, peralihannya, tata susunan
masyarakat Indonesia, dan tentang hukum adat waris.
4.
Penerapan
hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat.
Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat
menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam
aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal
Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat
Indonesia
B.
Saran
Selama
proses penulisan makalah ini, penulis melakukan perenungan dalam pembuatan
makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih
memahami tentang hukum dagang, khususnya masalah Persekutuan Komanditer. Dalam
penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang
menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena
itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang nantinya
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.Wallauhua’lam
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman. 1978. Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka
Pembangunan Nasional. Bandung:
Alumni.
Harahap, Yahya.
2005.Hukum Acara Perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan,
pembuktian, dan putusan pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Harsono, Boedi.
2003.Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Hermawan, Rudi. Peran dan Fungsi
Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html, (Online), diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 09.20
WIB.
Salman, R.Otje. 1992.Sosiologi
Hukum: Suatu Pengantar. Bandung: Armico.
Setiady, Tolib. 2009.Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soejono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
_______________. 1989.Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti.
_______________. 2005. Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soejono, dan
Soleman b. Taneko. 2002. Hukum Adat di Indonesia, cet ke-V. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
_______________. 2002.
Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Pide, A.
Suriyaman Mustari.2009. Hukum Adat. Jakarta: Pelita
Pustaka.
Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya.
[2]
Ibid., hlm. 9.
[3]
Ibid., hlm. 22.
[9]Soejono
Soekanto, dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat di Indonesia, cet ke-V,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 375.
[16]Soejono Soekanto. Kedudukan
dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. (Jakarta: Kurnia Esa, 1982), hlm. 13.
[17]Boedi Harsono. Hukum
Agraria Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 187.
[18]Yahya Harahap. Hukum
Acara Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan
putusan pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 830.
[19]Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam
Rangka Pembangunan Nasional. (Bandung:
Alumni, 1978), hlm. 130.
[20]
Rudi Hermawan, Peran dan Fungsi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html,
(Online), diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 09.20 WIB.