YANG TERBAIK UNTUKMU PASTI UNTUKMU

Tuesday, December 27, 2016

HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN HUKUM

HUKUM ADAT DI INDONESIA DAN HUKUM

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Sosiologi Hukum.

Dosen Pengampu:
Moh. Hipni, S.HI., M.HI

Disusun Oleh :

Dery Ariswanto          (130711100086)


PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberika taufik, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah kami yang membahas tentang  “Hukum Adat di Indonesia dan Hukum”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sosiologi Hukum.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam tulisan makalah, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami.
Yang terakhir, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bangkalan, 17 Maret 2016

Penulis








DAFTAR ISI
Cover..........................................................................................................................
Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang................................................................................................ 1
B.Rumusan Masalah............................................................................................ 2
C.Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.  Hukum Adat di Indonesia.............................................................................. 3
B.  Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum.................................. ....... 8
C.  Pemikiran Soepomo................................................................................ ..... 15
D.  Peran dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia....................................... 18

BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan.................................................................................................... 25
B.Saran.............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Apabila berbicara tentang adat “custom” berarti akan berbicara tentang wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan serta hukum yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem yaitu sistem budaya. Sementara adat-istiadat (customs) merupakan kompleks konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya dari suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam kehidupan sosial kebudayaan itu. 
 Hukum (law) adalah sistem pengendalian kehidupan masyarakat yang terdiri atas aturan adat, undang-undang, peraturan-peraturan, dan lain-lain norma tingkahlaku yang dibuat, disahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berwenang dalam masyarakat yang bersangkutan.Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Norma lama/hukum adat akan dapat diterima sepanjang ia akan dapat meningkatkan dirinya bagi kehidupan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup tentu saja dengan memperhatikan norma lama/hukum adat yang berkembang di dalam masyarakat sebagai kepribadian sesuai nilai-nilai tradisional yang ada. Kita masih tetap memegang nilai tradisional, walaupun nilai-nilai baru sebagai akibat kemajuan dan kelancaran komunikasi dan kemudahan informasi akan sangat banyak mempengaruhi nilai tradisional. Pelestarian norma lama bangsa adalah mempertahankan nilai-nilai seni budaya, nilai tradisional dengan mengembangkan perwujudan yang bersifat dinamis, luwes danselektif, serta menyesuaikandengan situasi dan kondisi yang selalu berubah dan berkembang.
  Dengan demikian hukum akan selalu terkait dengan nilai, norma dan keorganisasian tradisional maupun yang modern serta perlindungan yang bersifat penataan keseluruhan.Dengan demikian dalam upaya pembangunan sistim hukum harus memperhatikan Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup didalam masyarakat, karena jika hukum positif yang diberlakukan didalam masyarakat tidak sejalan dan bertentangan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif.

B.  Rumusan Masalah
Bersadarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diketahui beberapa rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah Hukum Adat di Indonesia?
2.    Bagaimanakah Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum?
3.    Bagaimanakah Pemikiran Soepomo?
4.    Apakah Peran dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia?

C.  Tujuan Penulisan
Bersadarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui beberapa tujuan penulisan makalah ini. Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui Hukum Adat di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum.
3.    Untuk mengetahui Pemikiran Soepomo.
4.    Untuk mengetahui Peran dan kedudukan Hukum Adat di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hukum Adat di Indonesia
1.   Pengertian Hukum Adat
Istilah hukum adat adalah merupakan terjemahaan dari istilah (bahasa) Belanda “Adat Recht” yang awalnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje nama Muslimnya H. Abdul Ghafar di dalam bukunya  berjudul “De Atjehers” yang menyatakan bahwa:[1]
“Hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang terujud sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam masyarakat. Pada kenyataan antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu batasnya tidak jelas.”
Hukum adat menurut Prof. Dr. Cornellis Van Vollenhovenadalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang timur asing yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan sebagai hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan adat).[2]
Sedangkan pengertian hukum adat menurut Soejono Soekanto, beliau menyatakan bahwa hukum adat adalah hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.[3]
Hukum Adat merupakan hukum tradisional masyrakat yang merupakan perwujudan dari suatu kebutuhan hidup yang nyata serta merupakan salah satu cara pandangan hidup yang secara keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat tersebut berlaku.[4]



2.      Manfaat Mempelajari Hukum Adat
Menurut Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH menyatakan manfaat hukum adalah tersebut adalah: dengan memepelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya hukum Indonesia, kita tidak menolak budaya hukum asing sepanjang ia tidak bertentangan dengan budaya hukum Indonesia. Begitu pula dengan mempelajari hukum adat maka akan dapat kita ketahui hukum adat yang mana yang ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana yang mendekati keseragaman yang dapat diperlakukan sebagai hukum nasional.

3.    Unsur-Unsur Pembentukan Hukum Adat
Hasil seminar Hukum adat dan pembinaan hukum nasional diselenggarakan di Yogyakarta oleh pakar-pakar hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dinyatakan bahwa terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi oleh agama.
Menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto unsur-unsur adat itu adalah:“Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian terbesar terdapat di dalam hukum adat, maka jawabanya adalah hukum Melayu Polinesia yang asli itu dengan di sana sini sebagai bahagian yang sangat kecil adalah hukum agama”
Menurut Prof. Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama beliau menyatakan bahwa:[5]“unsur lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya adalah unsur-unsur keagamaan, teristimewa unsur-unsur dibawa oleh agama Islam, pengaruh agama Kristen, dan agama Hindu”.
a.  Unsur Kenyataan
Adat dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta berkesinambungan danrakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
b.   Unsur Psikologis
Setelah hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum, dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis).[6]

4.   Corak dan Sistem Hukum Adat
a. Corak Hukum Adat
Prof. Hilman Hadikusumahmenegaskan bahwa Hukum adat Indonesia yang normatif pada umunya menunjukan corak-corak sebagai berikut:
1)   Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang sampai ke anak-anak cicit sekarang dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
2)   Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (Magis Relegius) artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang Ghaib atau berdasarkan ajaran ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut kepercayaan bangsa Indonesia, bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (Animisme), benda-benda itu punya daya bergerak (dinanisme) disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (Malaikat, Jin dan lain-lainya), dan alam sejagat ini ada kerena ada yang mengadakan yaitu Yang Maha Pencipta. Oleh karenanya apabila manusia akan memutuskan atau menetapkan, mengatur, menyelesaikan hajat biasanya berdo’a dan memohon keridhoan yang Maha Pencipta.
3)   Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (komunal), artinya dia lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama (satu untuk semua, semua untuk satu) (one for all, all for one). Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainya didasarkan oleh rasa kebersamaan kekeluargaan, gotong royong, tolong menolong.
4)   Konkrit dan Visual
Corak hukum adat adalah konkrit, artinya jelas, nyata, tidak berujud, Visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak sembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu adalah terang dan tunai, tidak samar-sama, diketahui, dan didengar orang lain, dan nampak terjadi ijab kabul (serah terima).
5)   Terbuka dan Sederhana
Corak hukum adat terbuka artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan hukum adat sendiri. Sederhana artinya bersahaja, tidak rumit, tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.
Keterbukaanya misalnya dapat dilihat dari masuknya agama Hindu dalam hukum perkawinan adat yang disebut Kawin Anggau yaitu jika suami wafat maka si istri kawin lagi dengan saudara suami. Atau masuknya agama Islam di dalam hukum waris adat yang disebut “pembagian segendong sapikul” (bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita 2:1)
Keserdahanaanya, dapat dilihat dari contoh sebagai berikut:
Terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyura. Misalnya di dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap cukup adanya kesepakatan keduanya secara lisan.
6)   Dapat Berubah dan Menyesuaian
Menurut Prof. Dr. Soepomo, SH sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Van Vollenhoven dinyatakan sebagai berikut:
Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya, hukum adat menunjukan perkembangan”.
7)   Tidak Dikodifikasi
Hukum adat kebanyakan tidak ditulis walaupun ada juga di antaranya yang dicatat, bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman dan bukan mutlak harus dilaksanakan oleh anggota masyarakat, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.
8)   Musyawarah dan Mufakat
Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk memulai sesuatu pekerjaan maupun di dalam mengakhiri pekerjaan apalagi yang bersifat peradilan di dalam menyelesaikan penyelisihan antara satu dengan lainya.

b.   Sistem Hukum Adat
Tentang sistem hukum adat, Soepomo menyatakan bahwa sistem tersebut didasarkan pada suatu kebutuhan yang berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Untuk menyelami sistem tadi, maka seseorang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di daam masyarakat Indonesia. Untuk itu harus diteliti susunan persekutuan-persekutuan hukum di lapangan rakyat, yaitu organisasi desa, nagari, hutan, dan seterusnya (Soepomo 1966:22). Selanjutnya Soepomo berkata, bahwa (Soepomo 1966:28,29): “Berlakunya suatu peraturan hukum adat adalah tampak dalam putusan (penetapan) petugas hukum, misalnya putusan kumpulan desa, putusan kepala desa, putusan hakim perdamaian desa, putusan pegawai agama, dan sebaginya masing-masing dalam lapangan kompetensinya sendiri-sendiri.
Yang dimaksudkan dengan putusan penetapan itu adalah perbuatan atau penolakan perbuatan (non action) dari pihak petugas hukum dengan tujuan untuk memelihara atau untuk  menegakkan hukum. Berhubung dengan itu, penyelidikan setempat (field research) hukum adat harus terutama ditujukan kepada research tentang putusan-putusan petugas hukum. Disamping itu, perlu ditinjau sikap penduduk dalam hidup sehari-hari terhadap hal-hal yang kita ingin, untuk mendapatkan keterangan dengan penyelidikan setempat. Dengan kata lain, kita harus menyelidiki pula kenyataan sosial (social reality) yang merupakan dasar bagi para petugas hukum untuk menentukan putusan-putusannya.”[7]
Sistem hukum adat pada dasarnya bersendikan pada alam fikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran masyarakat Barat. Oleh karena itu sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan diantaranya:[8]
Hukum Barat
Hukum Adat
-          Mengenal hak suatu barang dan hak orang seorang atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain yang tertentu
-          Tidak mengenal dua pembagian hak tersebut, perlindungan hak ditangan hakim
-          Mengenal Hukum Umum dan Hukum Privat
-          Berlainan daripada batas antara lapangan public dan lapangan privat pada Hukum Barat
-          Ada Hakim Pidana dan Hakim Perdata
-          Pembetulan hukum kembali kepada hakim (kepala adat) dan upaya adat (adat reaksi)

B.  Hukum Adat di Indonesia dan Sosiologi Hukum
1.    Hukum Adat dalam Pembangunan
Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta mempelancar proses interaksi tersebut.[9]Dengan demikian dapatlak dikatakan, bahwa manfaat hukum adat bagi pembangunan atau pembangunan hukum Khususnya adalah sebagai berikut:
a.    Adat kecenderungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan dan fungsi.
b.    Di dalam hukum adat biasanya perilaku-perilaku dengan gejala akibat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh, terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksinya yang negatif.
c.    Biasanya di dalam hukum adat dirumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi.
Sudah tentu bahwa konteks sosial dari masing-masing suku bangsa, akan memberi warna tertentu pada hukum adat tersebut. Namun tidaklah mustahil, bahwa dari perbedaan-perbedaan yang ada dapatlah dicari persamaan-persamaan di dalam asas-asas hukumnya. Oleh karena itu maka di dalam mengadakan identifikasi terhadap hukum adat yang mungkin berperan di dalam pembangunan, maka perlu diadakan kegiatan, kegiatan ilmiah untuk menentukan, hal-hal sebagai berikut:
a.    Identifikasi terhadap hukum adat yang menunjang pembangunan, hukum adat mana perlu diperkuat.
b.    Hukum adat bersifat netral terhadap pembangunans
c.    Hukum adat bertentangan dengan pembangunan, dengan kemungkinan-kemungkinan, sebagai berikut:
1)   Hukum adat secara tegas bertentangan dengan pembangunan
2)   Hukum adat yang bertentangan dengan pembangunan, akan tetapi yang dengan sendirinya terhapus di dalam proses pembangunan
3)   Hukum adat yang bertentanagan dengan pembangunan, akan tetapi tidak terbukti relevan lagi.
Di samping hal-hal tersebut di atas maka diperlukan pula identifikasikan, hal-hal tersebut:[10]
a.    Hukum adat yang dianut kerena diperintahkan oleh penguasa adat.
b.    Hukum adat yang dianut karena kolektifitas menghendakinya, pada halnya belum tentu adil.
c.    Hukum adat yang dianut, kerna dianggap adil oleh warga-warga masyarakat secara individual.

2.    Sistem Pegendalian Sosial
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang di tempuh kelompok atau orang masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai denagn harapan kelompok atau masyarakat. Hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial telah memberikan perananya dalam rangka terciptanya keteraturan masyarakat. Di sinilah pentingnya keberadaan hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial yang diharapkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-norma sosial sehingga terciptanya keselarasan dalam kehidupan sosial.[11]
Beberapa jenis pengendalian sosial adalah:
a.  Pengendalian Preventif
Merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi “mengancam sanksi” atau usaha pengcegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi usaha pengendalian sosial yang bersifat prefentif dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan
b.   Pengendalian Represif
Kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran dengan masksud hendak bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan.
c.    Pengendalian Sosial Gabungan
Merupakan usaha mencegah terjadinya preventive, sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma social.
Jenis-Jenis Pengendalian Sosial:
a.    Cemoohan,yaitu kritikan secara langsung terhadap seseorang atau kelompok jika di anggap menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
b.    Gossip, yaitu bentuk pengendalian social atau kritik social yang di lontarkan secara tertutup oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang menyimpang perilakunya.
c.    Pendidikan, dapat membina dan mengarahkan seseorang pada pembentukan sikap dan tindakan yang baik.
d.   Teguran, yaitu kritik social yang di sampaikan secara terbuka oleh masyarakat terhadap warga masyarakat yang menyimpang perilakunya.
e.    Ajaran agama, merupakan salah satu saran pengendalian social yang efektif. Akan menjadikan ajaran agamanya sebagai pedoman hidup dalam bersikap dan berprilaku.
f.     Ostraisisme, adalah suatu bentuk pengucilan.tujuannya adalah agar seseorang atau kelompok yang bersangkutan tidak lagi mengulangi pelanggaran yang pernah di alami.
g.    Fraundules, adalah pengendalian social dengan jalan meminta bantuan pihak lain yang di anggap dapat menyelesaikan masalah yang di hadapi.
h.    Intimidasi, adalah pengendalian social yang dilakukan dengan cara menekan , memaksa, meneror atau menakut-nakuti,dll.
i.      Hukuman, yaitu alat pengendalian social yang paling tegas dan nyata sanksinya.sanksinya berupa hukuman fisik,pidana, denda dan lain-lain.

3.    Pendekatan Sosiologis Serta Hukum Adat dalam Pembangunan
Hukum pasa hakekatnya merupakan suatu realitas sosial,  karena mempunyai karakteristik yang selalu merujuk pada realitas sosial. Pertama, hukum menghendaki adanya stabilitas dalam masyarakat. Kedua, hukum sebagai kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antar manusia. Ketiga, hukum cenderung untuk mementingkan ketertiban.
Suatu pendekatan sosiologis, biasanya bersifat Pragmatis yang artinya menganalisis gejala-gejala sosial dengan agak mengabaikan konteks kebudayaannya secara menyeluruh. Pendekatan sosiologis sifatnya lebih pada orientasi permasalahan. Skibstnys, pendekatan sosiologis memusatkan perhatian terhadap bagian tertentu dari masyarakat atau kebudayaan.[12]
Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar proses interaksi tersebut. Sehingga, seringkali hukum adat dinamakan “ a system of stabilized interactional expentacies”. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa manfaat hukum adat bagi pembangunan hukum, adalah:
a.    Adanya kecenderungan didalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan atau fungsi.
b.    Merumuskan secara menyeluruh terhadap prilaku-prilaku serta segala akibatnya.
c.    Merumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi.
Jadi, konteks sosial dari masing-masing suku bangsa akan memberikan corak warna tertentu pada hukum adat.

4.    Dasar Hukum Adat dari Sudut Pandang Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologi masyarakat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendasaran Hukum Adat yang bersifat mengikat, yaitu di antaranya sebagai berikut:
a.   Masyarakat
Apabila hendak dibicarakan gejala hukum dengan segala aspeknya,maka mau tak mau harus juga disinggung perihal masyarakat yang menjadi wadah dari hukum tersebut. Hukum adalah masyarakat juga, yang ditelaah dari suatu sudut tertentu, sebagaimana juga halnya dengan politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Masyarakat itu sendiri dapat diartikan sebagai manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya. Jadi masyarakat merupakan suatu sistem, yakni sistem sosial.
Masyarakat (society) adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan. WJS Poerwadarminta menyebutkan:
“Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan yang tertentu). Masyarakat adalah sekelompok orang yang mempunyai identitas sendiri, yang membedakan dengan kelompok lain dan hidup dan diam dalam wilayah atau daerah tertentu secara tersendiri. Kelompok ini baik sempit maupun luas mempunyai perasaan akan adanya persatuan di antara anggota kelompok dan menganggap dirinya berbeda dengan kelompok lain. Mereka memiliki norma-norma, ketentuan-ketentuan dan peraturan yang dipatuhi bersama sebagai suatu ikatan. Perangkat dan pranata tersebut dijadikan pedoman untuk memenuhi kebutuhan kelompok dalam arti luas. Jadi secara luas bahwa dalam masyarakat terdapat semua bentuk pengorganisasian yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (masyarakat tersebut)”.
Lingkungan masyarakat adalah suatu bagian dari suatu lingkungan hidup yang terdiri atas antar hubungan individu dengan kelompok dan pola-pola organisasi serta segala aspek yang ada dalam masyarakat yang lebih luas dimana lingkungan sosial tersebut merupakan bagian daripadanya. Lingkungan sosial dimaksud dapat terwujud sebagai kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, tetapi dapat juga terwujud sebagai situasi-situasi sosial yang merupakan sebahagian dari dan berada dalam ruang lingkup suatu kesatuan  atau kelompok sosial.
b.   Kebudayaan
Sementara itu, kebudayaan (culture) adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian dan tersistem dalam tiga wujud ialah: ide, aktivitas, dan kebendaan yang masing-masing biasanya disebut sistem budaya atau sistem adat istiadat, sistem sosial dan kebudayaan kebendaan.
Seorang dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia yang bernama Selo Soemardjan menyatakan bahwa kalau masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia yang hidup bersama cukup lama sehingga dapat menciptakan satu kebudayaan, maka di Indonesia sekarang ada banyak masyarakat.” Selo Soemardjan lebih menitikberatkan suatu kemajemukan masyarakat itu pada “Culture”. Karena kebudayaan dapat menjadi suatu ciri (khas) dari suatu masyarakat.[13]Sehingga kebudayaan Indonesia bertambah banyak, dan hal itu dapat dibedakan menjadi 3 macam kebudayaan:
1)   Super Culture, yaitu satu kebudayaan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Misalnya satu bahasa Indonesia, satu Ideologi.
2)   Culture, yaitu kebudayaan yang sejak dahulu dimiliki oleh tiap-tiap suku bangsa.
3)   Sub-Culture, yaitu variasi dari culture yang dimiliki oleh tiap-tiap kelompok atau golongan dalam suatu suku bangsa, misalnya dialek bahasa.
c. Hukum adat
Menurut Dr. Soepomo, “tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem, yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran. Begitupun hukum adat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Unsur-unsur yang menjadi dasar bagi hukum adat biasanya dinamakan “gegevens van het Recht”, mencangkup unsur idil dan unsur ril.Unsur Idil terdiri dari rasa susila, rasa keadilan dan rasio manusia. Rasa susila merupakan suatu hasrat dalam diri manusia, untuk hidup dengan hati yang bersih. Rasa keadilan manusia bersumber pada kenyataan, dimana setiap pribadi maupun golongan tidak merasa dirugikan karena perbuatan atau kegian golongan lain. Sementara unsur Ril mencakup manusia, lingkungan alam, dan kebudayaan. Manusia senantiasa dipengaruhi oleh unsur pribadi maupun lingkungan sosialnya. Lingkungan alam merupakan lingkungan diluar lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia dalam pergaulan hidup, yang terwuud dalam hasil karya, rasa, dan cipta.[14]
Hukum adat merupakan konkritisasi daripada kesadaran hukum, khususnya pada masyarakat-masyarakat dengan struktur dan kebudayaan sederhana. Kesadran hukum sebenarnya merupakan inti daripada sistem budaya suatu masyarakat, kesadaran hukum itulah yang menimbulkan berbagai norma-norma, oleh karena inti dari kesadaran hukum adalah hasrat yang kuat untuk senantiasa hidup secara teratur.

C.  Pemikiran Soepomo
Walaupun pada hakikatnya ilmu sosiologi hukum tersebut masih baru bagi Indonesia, namun di dalam karya-karya para sarjana hukum Indonesia seringkali terselip konsep-konsep sosiologi hukum walaupun tidak dinyatakan dengan tegas. Mungkin hal itu bukan merupakan hasil pemikiran yang secara langsung ikut membentuk sosiologi hukum, namun dapatlah dikatakan bahwa untuk perkembangan ilmu pengetahuan (sosiologi) hasil karya tersebut tak dapat diabaikan begitu saja dan bahkan harus dianalisis secara seksama. Di antara sekian banyaknya sarjana-sarjana hukum tadi, akan kami kemukakan ajaran-ajaran Soepomo (1903-1958) yang semasa hidupnya menjadi salah seorang sarjana hukum adat yang terkemuka di Indonesia. Ajaran-ajaran Soepomo yang mengandung aspek-aspek sosiologi hukum terutama terhimpun di dalam buku Bab-bab tentang hukum adat, yang terbit beberapa saat setelah beliau wafat. Dari keseluruhan isi buku tersebut hanya akan di uraikan pendapat-pendapat Soepomo tentang sistem hukum adat, peralihannya, tata susunan masyarakat Indonesia, dan tentang hukum adat waris. Hal ini disebabkan karena justru dalam bab-bab tersebut di temukan aspek-aspek sosiologi hukum yang walaupun tidak semuanya berasal dari Soepomo (tetapi dari tokoh-tokoh hukum adat seperti C van Vollenhoven, B ter Haar Bzn, dan lain-lain), tetapi mengintroduksikan suatu tinjauan yang relatif baru terhadap penelitian hukum adat di Indonesia.
Yang lebih penting lagi adalah kelanjutan uraian Soepomo, sebagai berikut, (Soepomo 1966:28,29): “Cara (metode) penyelidikan setempat, ialah mendekati para pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, orang-orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya. Kepada orang-orang yang didengar itu jangan ditanyakan pendapat mereka tentang bunyi peraturan adat mengenai ini atau itu, melaikan yang ditanyakan hanya fakta-fakta, hanya kejadian-kejadian yang telah dialami atau diketahui sendiri oleh mereka. Hanya dengan metode itulah dapat dicapai keterangan tentang peraturan-peraturan yang benar-benar berlaku didalam hidup bersama didaerah yang di selidiki dan berdasarkan keterangan-keterangan semacam itu di lukiskan hukum adat yang hidup di daerah itu. Dalam hal itu kita dapat mencatat bahwa dalam penyelidikan hukum adat yang menentukan bukan banyaknya jumlah perbuatan-perbuatan yang terjadi, meskipun jumlah itu adalah penting sebagai petunjuk bahwa perbuatan itu adalah dirasakan sebagai hal yang diharuskan oleh masyarakat. Meskipun jumlah perbuatan-perbuatan yang sama di dalam daerah yang bersangkutan itu hanya ada dua, apabila kedua perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memang sudah seharusnya, maka dari dua fakta it sudah dapat ditarik kesimpulan adanya suatu norma hukum. Tentang soal luasnya daerah, di mana sesuatu norma hukum adat adalah berlaku didalam daerah hukum yang merupakan kesatuan sosiologis.”
Perihal fungsi seorang hakim dengan tegas dikatakan oleh Soepomo, bahwa hakim berwenang dan bahkan wajib untuk menelaah apakah suatu peraturan hukum adat yang telah ada mengenai soal yang dihadapi masih selaras atau tidak dengan kenyataan sosial sehubungan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Hakim tidak boleh mengadili semata-mata menurut perasaan keadilan pribadi, tetapi dia terikat pada nilai-nilai yang secara nyata berlaku dalam masyarakat. Dengan keputusan-keputusannya diharapkan bahwa seorang hakim memperkuat kehidupan norma hukum yang bersangkutan. Masyarkat selalu bergerak dan rasa keadilanpun berubah-ubah, sehingga pada suatu waktu hakim dapat memberikan keputusan yang menyimpang dari keputusan-keputusan yang diambil pada waktu yang lampau mengenai hal-hal yang serupa, oleh sebab itu, kenyataan social di dalam masyarakat berubah, sehingga keadaan yang baru tersebut menghendaki penetapan-penetapan baru.
Tentang tata susunan rakyat, Soepomo mengutip pendapat C van Vollenhoven (yang tercantum dalam adatrecht III, halaman 3), sebagai berikut: “bahwa untuk mengetahui hukum yang terutama perlu diselidiki waktu apabila dan di daerah manapun juga, sifat dan susunan badan-badaan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang di kuaasai oleh hukum tersebut, hidup sehari-hari. Penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak di dasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.” (Soepomo 1966:43)
Dengan mengutip definisi ter harr Bzn (dari buku Beginselen en Stelsel van het Adatrecht halaman 13-14), dikatakannya bahwa persekutuan hukum merupakan pergaulan hidup didalam golongan-golongan yang bertingkaah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir, dan batin. Golongan-golongan tersebut mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan masing-masing warga golongan tersebut merasakan merasakan kehidupan tadi sebagai suatu kewajaran. Tak ada yang mempunyai pikiran akan adanya kemungkinan untuk membubarkan golongan tersebut. Dikatakan pula, bahwa persekutuan-persekutuan tadi didasarkan pada ikatan darah atau lingkungan daerah. Persekutuan-persekutuan hukum tersebut tidak merupakan suatu badan kekuasaan, melainkan kehidupannya bersifat kekeluargaan dan merupakan kesatuan hidup bersama. Kepala masyarakat tersebut dianggap sebagai ketua dari suatu keluarga besar yang memipin pergaulan hidup tersebut.
Tentang hukum adat waris, Soepomo menyatakan sebagai berikut, (Soepomo 1966:72-73): “Hukum adat bersendi atas prinsip-prinsip yang timbul dari aliraan-aliran pikiran komunal dan konkret dari bangsa Indonesia. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang menagtur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi ‘akuut’ sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak dan ibu adalah suatu proses penting bagi prose situ, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. Proses itu berjalan terus, hingga angkatan (generatie) baru yang dibentuk dengan mencar atau mentasnya anak-anak merupakan keluarga baru dan mempunyai dasar kehidupan material sendiri dengan barang-barang dari harta peninggalan orang tuanya sebagai fondamen segala barang tersebut merupakan dasar material bagi kehidupan keluarga dan akan disediakan pula untuk dasar materiil bagi kehidupan turunan dari keluarga itu.”
Ajaran-ajaran Soepomo tersebut banyak sekali mengandung pendekatan-pendekatan sosiologis dan antropologis, walaupun mungkin hanya merupakan alat pembantu saja bagi analisis hukum saja tidak cukup, oleh karena hukum adat senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, dan pandangan hidup, yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakatnya sebagai wadahnya. Untuk dapat mengerti benar-benar hukum adat tersebut sebagai penjelmaan jiwa masyarakat Indonesia, perlu dittelaah terlebih dahulu struktur berpikir, corak, dan sifat masyarakat Indonesia yang secara keseluruhan merupakan mentalitas yang mendasari hukum adat.[15]

D.  Peran dan Kedudukan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat Indonesia.
Adapun kedudukan dan peranan hukum adat adalah sebagai berikut:
1.    Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional, yang menuju Kepada Unifikasi pembuatan peraturan perundangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuhnya dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.
2.    Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam penyusunan Hukum Nasional pada dasarnya berarti:
a.    Penggunaan konsepsi-konsepsi dan azas-azas hukum dari hukum adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar.
b.    Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan ciri dan sifat-sifat kepribadian Indonesianya.
c.    Memasukkan konsep-konsep dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga hukum dari hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan Hukum Nasional, agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3.    Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum adat merupakan salah satu unsur sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan nasional merupakan intinya.
4.    Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional.

Namun, kedudukan hukum adat jika dikaitkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Yurisprudensi adalah sebagai berikut:
1.    Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945
Konstitusi Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan bahwa ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara:
a.    Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;
b.    Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;
c.    Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);
d.   Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;
e.    Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;
f.     Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33)
Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka:
a.    Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya
b.    Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup
c.    Sesuai dengan perkembangan masyarakat
d.   Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
e.    Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat:
a.    Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat;
b.    Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

2.    Kedudukan Hukum Adat dalam Putusan Hakim
Sistem hukum yang berlaku bagi bagian terbesar dari masyarakat indonesia adalah hukum adat. Ini dibuktikan bahwa sebagian besar masyarakat indonesia masih banyak tunduk pada hukum adat, walaupun untuk bidang-bidang tertentu dari hukum adat itu.[16] Artinya, masyarakat menganggap bahwa hukum yang menjadi patokan untuk berperilaku adalah hukum adat.
Kalau dalam hukum adat juga berlaku secara prespektif , hukum adat menjadi dasar bagi keputusan badan-badan peradilan resmi atau peraturan perundang-undangan, yang mengakui hukum adat sebagai dasarnya. Namun, sebaliknya juga membatasi berlakunya hukum adat, misalnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 atau dikenal dengan undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undang ini merupakan seperangkat kaidah hukum tertulis yang sah secara yuridis, tetapi masih menjadi pernyataan tentang keefektifannya dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum adat masih tetap berlaku secara deksriptif, secara prespektif, berlakunya dibatasi.
Hukum adat masih bersifat deksriptif, karena peraturan dalam hukum adat seperti perundang-undangan yang berlaku secara yuridis formal belum tentu dianggap adil, meskipun hukum adat dianggap sebagai hukum yang hidup. Sebab, ada hukum adat yang diberlakukan secara paksa oleh penguasa adat, ada hukum yang diberlakukan secara kolektiva, ada yang secara sukarela mentaati hukum adat oleh masyarakat.
Konsep yuridis masyarakat adat indonesia dapat ditinjau dari kewenangan hak ulayat masyarakat adat ke luar dan ke dalam. Hak ulayat ke dalam dapat diartikan bahwa hanya masyarakat adatlah yang dapat melakukan perbuatan hukum di lingkungan hukumnya dan dapat mengambil keuntungan dari lingkungan adatnya.
Kewenangan ke luar masyarakat hukum adat dapat diartikan sebagai pernyataan bagi pihak luar masyarakat hukum adat tersebut untuk tidak mengambil keuntungan terhadapnya.[17] Maka dapat disimpulkan bahwa kewengan hukum muncul bagi masyarakat adat untuk melakukan perbuatan hukum sebatas pada wilayah kesatuan.
Dalam pengertian yurisprudensi yang dikemukakan oleh Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata, bahwa putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan perkembangan hukum perkembangan hukum, sehingga perkara yang diputus berkaitan erat dengan perubahan sosial dan kondisi ekonomi.[18] Ini berarti hakim selalu mengambil keputusan menurut putusan-putusan dalam perkara yang sama dimasa lalu, maka hakim telah berperilaku hukum adat.
Kedudukan hukum adat dalam yurisprudensi tidak dapat kita temui adanya ketentuan yang tegas oleh karena yurisprudensi di lapangan hukum adat telah merupakan dan membimbing perkembangan hukum adat sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam keputusan mengenai hukum adat dalam putusan hakim disebutkan:[19]
a.    Hendaklah hukum adat kekeluargaan dan kewarisan lebih dikembangan kearah hukum yang bersifat bilateral/ parental  memberikan kedudukan yang sederajat antara pria dan wanita.
b.    Dalam rangka pembinaan hukum perdata nasional, hendaklah diadakan publikasi yurisprusdensi yang teratur dan tersebar luas.
c.    Dalam hal terdapat pertentangan antara perundang-undang dan hukum adat hendaknya hakim memutuskan berdasarkan undang-undang bijaksana.
d.   Demi terbinanya hukum perdata nasional yang sesuai dengan politik hukum negara kita, diperlukan hakim-hakim yang berorientasi kepada pembinaan hukum.
e.    Perdamaian dan kedamaian adalah tujuan tiap masyarakat karena itu tiap sengketa hukum hendaklah diusahakan didamaikan.

3.    Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.[20]
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
a.    Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
b.    Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
c.    Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi adalah merupakan kebiasaan normatif, yaitu kebiasaan yang terujud sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam masyarakat.
2.    Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta mempelancar proses interaksi tersebut.
3.    Ajaran-ajaran Soepomo yang mengandung aspek-aspek sosiologi hukum terutama terhimpun di dalam buku Bab-bab tentang hukum adat, yang terbit beberapa saat setelah beliau wafat. Dari keseluruhan isi buku tersebut hanya akan di uraikan pendapat-pendapat Soepomo tentang sistem hukum adat, peralihannya, tata susunan masyarakat Indonesia, dan tentang hukum adat waris.
4.    Penerapan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdatanya masyarakat Indonesia

B.  Saran
Selama proses penulisan makalah ini, penulis melakukan perenungan dalam pembuatan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih memahami tentang hukum dagang, khususnya masalah Persekutuan Komanditer. Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.Wallauhua’lam

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1978. Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional Bandung: Alumni.
Harahap, Yahya. 2005.Hukum Acara Perdata: tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Harsono, Boedi. 2003.Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Hermawan, Rudi. Peran dan Fungsi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html, (Online), diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 09.20 WIB.
Salman, R.Otje. 1992.Sosiologi Hukum: Suatu Pengantar. Bandung: Armico.
Setiady, Tolib. 2009.Intisari Hukum Adat Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soejono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
_______________. 1989.Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
_______________. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soejono, dan Soleman b. Taneko. 2002. Hukum Adat di Indonesia, cet ke-V. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
_______________. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Pide,  A. Suriyaman Mustari.2009. Hukum Adat. Jakarta: Pelita Pustaka.
Warjiyati, Sri. 2006. Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya.


[1]Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.  3.
[2] Ibid., hlm. 9.
[3] Ibid., hlm. 22.
[4]Sri Warjiyati,  Memahami Hukum Adat, (Surabaya: IAIN Surabaya, 2006), hlm.16.
[5]Tolib Setiady,Intisari..., hlm. 29-30.
[6]Sri Warjiyati, Memahami...., hlm. 22.
[7]Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 54.
[8]Sri Warjiyati, Memahami...., hlm. 27.
[9]Soejono Soekanto, dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat di Indonesia, cet ke-V, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. 375.
[10]Ibid., hlm. 377-378.
[11]A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat, (Jakarta: Pelita Pustaka, 2009), hlm. 16.
[12]Soejono Soekanto dan Soleman, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2002), hal. 397
[13]Ibid., hlm. 40.
[14]Ibid., hlm.143
[15]hlm. 40.
[16]Soejono Soekanto. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. (Jakarta: Kurnia Esa, 1982), hlm. 13.
[17]Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia. (Jakarta: Djambatan,  2003), hlm. 187.
[18]Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata : tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 830.
[19]Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 130.
[20] Rudi Hermawan, Peran dan Fungsi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional. http://www.gunungmaskab.go.id/informasi/ucapan-dirgahayu-ke-8-kab-gunung-mas-dari-pemprov-kalteng.html, (Online), diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 09.20 WIB.
Share:
SESUNGGUHNYA YANG TERBAIK UNTUKMU PASTILAH UNTUKMU

About

AKU ADALAH DIRIKU DENGAN SEJUTA IMPIAN DAN HARAPAN BESARKU

Postingan Populer

Powered by Blogger.

hiburan

  • NOAH 6.903
  • NOAH AWAL SEMULA
  • Sang Pemimpi

Followers

NOAH

NOAH
logo NOAH