MAKALAH
“Hukum Acara Pidana”
Disusun
Oleh :
Dery
Ariswanto (130711100086)
HUKUM
BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2104
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan hukum yang demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD
1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan semata-mata. Maka dari itu, Indonesia
membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang hidup atau yang berjalan, dengan
hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang tentram dan teratur bagi
kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum tersebut juga butuh
ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap warga Negara.
Hukum Acara Pidana adalah
keseluruhan aturan hukum yang mengatur bagaimana Negara dengan menggunakan
alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk memidana atau membebaskan
pidana.
Didalam KUHAP disamping mengatur
ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur tentang hak dan kewaj iban
seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang dimaksud adalah tahap
pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Latar belakang yang melandasi
munculnya KUHAP yaitu :
- HIR yang hanya mengatur tentang
landraad dan raad van justitie - UUD
- Pengakuan HAM
- Jaminan bantuan hukum dan ganti
rugi
Maka dari itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai hukum acara pidana secara mendalam dan menyeluruh.
B.
Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang di
atas maka dapat ditarik rumusan masalah dari pembahasan makalah ini, yaitu:
1. Apa
yang dimaksud dengan hukum acara pidana?
2. Apakah
tujuan dan fungsi dari hukum acara pidana?
3. Jelaskan
asas-asas yang ada pada hukum acara pidana?
4. Siapakah
pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana?
5. Bagaimanakah
proses pelaksanaan acara pidana?
6. Apasajakah
alat-alat bukti perkara pidana?
7. Bagaimanakah
perbedaan antar hukum acara perdata dan hukum acara pidana?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian rumusan masalah
diatas, maka dapat ditarik tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
1. untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum acara pidana
2. untuk
mengetahui tujuan dan fungsi dari hukum acara pidana.
3. untuk
mengetahui asas-asas yang ada pada hukum acara pidana.
4. untuk
mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana.
5. untuk
mengetahui proses pelaksanaan acara pidana
6. untuk
mengetahui apasajakah alat-alat bukti perkara pidana
7. untuk
mengetahui perbedaan antar hukum acara perdata dan hukum acara pidana.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana
yaitu keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat
penegak hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana.[1]
Berbicara mengenai pengertian dan
maksud dari hukum acara pidana, banyak para tokoh serta para pakar hukum yang
mengartikannya, di antaranya seperti:
1. Menurut Van Bemellen
Hukum acara pidana yaitu kumpulan
ketetapan hukum yang mengatur negara terhadap adanya dugaan terjadinya
pelanggaran pidana, dan untuk mencari kebenaran melalui alat-alatnya dengan
cara diperiksa di persidangan dan diputus oleh hakim dengan menjalankan putusan
tersebut.
2. Menurut Van Apeldoorn
Hukum acara pidana yaitu peraturan
yang mengatur cara begaimana pemerintah dapat menjaga kelangsungan pelaksanaan
hukum pidana materiil.
3. Menurut Bambang Poernomo
Dalam arti sempit, hukum acara
pidana yaitu kumpulan peraturan tentang proses pelaksanaan hukum acara pidana,
dan dalam arti luasnya yaitu kumpulan peraturan pelaksanaan hukum acara pidana
ditambah dengan peraturan lain yang berkaitan dengan itu. Dalam arti sangat
luas, ditambah lagi dengan peraturan tentang alternatif jenis pidana.
4. Menurut Simon
Hukum acara pidana bertugas mengatur
cara-cara negara dengan alat perlengkapanya mempergunakan wewenangnya untuk memidana
dan menjatuhkan pidana.[2]
5. Menurut Sudarto
Hukum acara pidana adalah
aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh pada penegak
hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya apabila ada persangkaan
bahwa hukum pidana dilanggar.
6. Menurut Seminar Nasional Pertama Tahun 1963
Hukum acara pidana adalah norma
hukum berwujud wewenang yang diberikan kepada negara untuk bertindak adil,
apabila ada prasangka bahwasanya hukum pidana dilanggar.
B. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
1. Tujuan hukum acara pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu
untuk menemukan kebenaran materiil. Kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur
dan tepat, dengan tujuan untuk:
a. Mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum.
b. Meminta
pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan dapat
dipersalahkan.
2. Fungsi hukum acara pidana
Fungsi hukum acara pidana adalah
menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum acara pidana beroprasi sejak adanya
sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali
tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.[3]
Adapun hukum acara pidana sebagai
salah satu instrumen dalam sistem peradilan pidana pada pokoknya memiliki
fungsi utama, yaitu:
a.
Mencari
dan menemukan kebenaran
b.
Pengambilan
keputusan oleh hakim, dan
c.
Pelaksanaan
putusan yang telah diambil
C. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang terdapat pada hukum acara pidana yaitu:[4]
1.
Asas
persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
Yaitu
perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
membedakan perlakuan.
2. Asas
perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat
berwenang dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang.
3. Asas
praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
Setiap orang yang sudah disangka,
ditangkap, ditahan dan atau dihadapkan dimukasidang pengadilan wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memeperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Asas
pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah
tuntut.
Kepada orang yang ditangkap,
ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti
rugi(hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan
sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cam yang diatur dalam undang-undang ini). dan
rehabilitasi (hak seorang untuk mendapat pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan
dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan
atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini) singkat
dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan
asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman
administrasi.
5. Asas
peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
Peradilan yang dilakukan harus
cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak. Harus
ditrapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Asas
memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
Setiap orang yang tersangkut
perkara, wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata
diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7. Asas
wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
Kepada seorang tersangka, sejak saat
dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan
dasar hukum yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu
termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.
8. Asas
hadirnya terdakwa
Pengadilan memeriksa perkara pidana
denagn hadimaya terdakwa.
9. Asas
pemeriksaan di muka umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang sudah diatur dalam undang-undang.
10. Asas
pengawasan pelaksanaan putusan
Pengawasan pelaksanaan putusan
pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang
bersangkutan.
D. Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Dalam perkara pidana sebenarnya
terlibat beberapa pihak, di antara pihak-pihak yang saling berhadapan itu
terdapat hakim yang tidak memihak kedua pihak. Sistem saling berhadapan ini
disebut sistem pemeriksaan akusator (accusatoir). Dahulu, dipakai sistem
inkisitor (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan, sedangkan
hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang sama.[5]
Dalam sistem saling berhadapan
(adversary system) ini, ada pihak terdakwa yang dibelakangnya terdapat
penasihat hukumnya,sedangkan dipihak lain terdapat penuntut umum yang atas nama
negara menuntut pidana. Di belakang penuntut umum ini ada polisi yang memberi
data tentang hasil penyidikan (sebelum pemeriksaan hakim).
Sanksi-sanksi yang diajukan biasanya
terbagi tiga.yaitu yang memberatkan terdakwa (a charge), biasanya di ajukan
oleh penuntut umum; yang meringankan terdakwa (a charge), biasanya diajukan
terdakwa atau penasihat hukumnya; dan ada pula saksi yang tidak memberatkan dan
tidak meringankan terdakwa, mestinya saksi golongan ketiga ini ialah saksi
ahli. yang terpenting diantara pihak ini tentulah terdakwa, karena dia yang
akan menjadi fokus pemeriksaan disidang pengadilan.
Adapun pihak-pihak yang terlibat
dalam hukum acara pidana yaitu:[6]
1. Tersangka
Yaitu orang yang diduga melakukan
tapi sebelum masuk sidang pengadilan. Jika sudah masuk pengadilan statusnya
menjadi terdakwa, dan apabila sudah diputus maka statusnya sebagai terpidana.
2. Terdakwa
3. Terpidana
4. Saksi
Yaitu orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentigan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
yang pidana yang is dengar, lihat atau alami sendiri.
5. Saksi ahli
Yaitu seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan peradilan.
6. Penyidik
Yaitu pejabat polisi negara republik
Indonesia yang diberi wewenang menurut UU untuk melakukan penyidikan. Istilah
penyidik terkadang digabungkan dengan kata-kata lain seperti penyidik umum,
penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penyidik khusus dan penyidik pembantu.
Sehingga kedudukan dan kepangkatan penyidik perlu diselaraskan dan
diseimbangkan.
Istilah penyidik umum adalah pejabat
kepolisian Negara Republik Indonesia dengan syarat kepangkatan yang diatur
lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, istilah penyidik pegawai negeri sipil
tertentu adalah pegawai negeri sipil sesuai dengan persyaratan tertentu yang
telah dididik dengan kualifikasi penyidik yang diberi wewenang melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang tugas dan fungsinya yang diberikan oleh
undang-undang. Istilah penyidik pembantu adalah pejabat pejabat kepolisian
Negara Republik Indonesia berpangkat tertentu dibawah pangkat penyidik umum dan
pejahat pegawai negeri sipil di lingkungan polri karena keahlian di bidang
tertentu yang diangkat oleh Kapolri.[7]
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dan
pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana menjelaskan bahwa Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
7. Penyelidik
Yaitu pejabat polisi ncgara republik
Indonesia yang diberi wewenang mcnurut untuk melakukan penyelidikan.
8. Penyidik pembantu
Yaitu pejabat kepolisian negara RI
yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.
9. Jaksa
Pejabat yang dihcri wewenang olch
undang-undang ini untuk bertindak sehagai penuntut umum serta mclaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
10. Hakim
Yaitu pejabat pengadilan yang diberi
wewenang oleh UU untuk mengadili.
11. Advokat kuasa hukum
Yaitu pihak atau orang yang akan
memberikan bantuan hukum kepada pihak yang terseret dalam suatu kasus. Serta
membantu proses berjalannya acara sidang di pengadilan.
12. Pejabat aparat eksekusi
Pihak ini bertugas melaksanakan UU
pelaksanaan pidana. Misalnya pejabat Lapas (lembaga pemasyarakatan).
E. Proses Pelaksanaan Acara Pidana
Proses pelaksanaa acara pidana
adalah merupakan suatu proses dan tata cara beracara atau mengajukan perkara
pidana ke muka persidangan. Adapun tahap-tahapannya adalah sebagai berikut:[8]
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Di dalam pemeriksaan pendahuluan,
sebelum sampai pada pemeriksaan disidang pengadilan, akan melalui beberapa
proses sebagai berikut:
a.
Proses
Penyelidikan dan Penyidikan.
Menurut KUHP diartikan bahwa
penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya
dilakukannya penyelidikan (pasal 1 butir lima kuhap).
Dengan demikian fungsi penelidikan
dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan
menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara
serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
Sedangkan yang dimaksud dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP)
Oleh karena itu, secara kongkrit
dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk
mendapatkan keterangan-keterangan tentang
1)
Tindak
apa yang telah dilakukannya?
2)
Kapan
tindak pidana itu dilakuakan?
3)
Dimana
tindak pidana itu dilakukan?
4)
Dengan
apa tindak pidana itu dilakukan?
5)
Bagaimana
tindak pidana itu dilakukan?
6)
Mengapa
tindak pidana itu dilakukan?
7)
Siapa
pembuatnya?
b.
Petugas-Petugas
Penyelidik dan Penyidik
Menurut pasal 4 penyidik adalah
setiap pejabat polisi Negara republik Indonesia. Di dalam tugas penyelidikan
mereka mempunyai wewenang-wewenang seperti diatur dalam pasal 5 KUHAP sebagai
berikut:
1)
Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2)
Mencari
keterangan dan barang bukti;
3)
Menyuruh
berhenti seseorang yang dicurigai dan menayakan serta memeriksa tanda pengenal
diri;
4)
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sedangkan yang termasuk penyidik adalah:
1)
Pejabat
polisi Negara Republik Indonesia pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
2)
Pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Yang dimaksud dengan penyidik
pegawai negeri sipil tertentu, misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi
dan pejabat kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang
khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Penyidik sebagai mana yang dimaksud
dalam pasal 6 KUHAP berwenang untuk:
1)
Menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
2)
Melakukan
tindakan pertama pada saat ditempat kejadian.
3)
Menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka.
4)
Melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
5)
Melakukan
pemeriksaan dan peryitaan surat.
6)
Mengambil
sidik jari dan memotret seorang.
7)
Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8)
Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalm hubungannya dengan pemeriksaan.
9)
Mengadakan
penghentian penyidikan.
10)
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (pasal 7 KUHAP)
c.
Pelaksanaan
Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan atau penyidikan
merupakan tidakan pertama-tama yang dapat dan harus dilakukan oleh penyelidik
atau penyidik jika terjadi atau timbul persangkaan telah terjadi tindak pidana.
Apabila ada persangkaan telah dilakukan tindak kejhatan atau pelanggaran maka
harus diusakan apakah hal tersebut sesuai dengan kenyataan, benarkah telah
dilakukan tindak pidana dan jika is siapakah pembuatnya.
Persangkaan atau pengetahuan telah
terjadi tindak pidana ini dapat diperoleh dari berbagai sumber yang dapt
digolongkan sebagai berikut:
1)
Kedapatan
tertangkap tangan (ontdekkeng op heterdaad)
Adapun yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah:
a). Tertangkapnya
seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau
b). Dengan
segera sesudah beberap saat tindakan pidana itu dilakukan, atau
c). Sesaat
kemudian diserukan oleh khalayak rami sebagai orang yang melakukannya, atau
d). Apabila sesat kemudian padanya
ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana itu yang menunjukkan bahwa is adalah pelakunya atau turut melakukan atau
membantu melakukan tindak pidana itu.(pasal 1 butir 19 kuhap)
2)
Di
luar tertangkap tangan
Sedangkan
dalam hal tidak tertangkap , pengetehuan penyelidik atau penyidik tentang telah
terjadinya tindak pidana dapat diperoleh dari:
a). Laporan
b). Pengaduan
c). Pengetahuan sendiri oleh penyelidik atau penyidik
3)
Penangkapan
dan Penahanan
Yang
dimaksud dengan penangkapan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan. Sedangkan
penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh
penyidik atau penuntut umum atau hakim.[9]
Jadi,
penangkapan dan penahanan adalah merupakan tindakan yang membatasi dan
mengambil kebebasan bergerak seseorang. Mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk melakukan penahanan terdapat dalam pasal 20 dan 21 ayat 1 dan
ayat (4).
4)
Penangguhan
dan Penahanan
Untuk
menjaga supaya tersangka atau terdakwa yang ditahan tidak dirugiakn
kepentingannya karena tindakan penahanan itu yang mungkin akan berlangsung
untuk beberapa waktu, diadakan kemungkinan untuk tersangka atau terdakwa
mengajukan permohonan agar penahanannya ditangguhkan, berbeda dengan ketentuan
yang diatur dalam HIR yang menetapkan bahwa pejabat satu-satunya yang berwenang
menangguhakan penahanan ialah hakim, maka menurut KUHAP yang berhak menentukan
apakah suatu penahanan perlu ditangguhakan atau tidak ialah penyidik atau
penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
5)
Penggeledahan
Badan dan Rumah
Penggeledahan
badan dan penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
penyidikan dan dengan surat perintah untuk itu dari yang berwenang. Yang
dimaksud dengan penggeledahn badan ialah tindakan penyidik untuk mengadakan
pemeriksaan badann atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras
ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
6)
Penyitaan
Yang
dimaksud dengan penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil
alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Di samping itu, menurut pasal 39 KUHAP
ditentukan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a). Benda
atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
b). Benda
yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya
c). Benda
yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
d). Benda
yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e). Benda lain yang mempunyai
hubungan langsung dengan tindak pidana.
7)
Pemeriksaan
ditempat kejadian
Pemeriksaan
ditempat kejadian pada umumnya dilakukan karena delik yang mengakibatkan
kematian, kejahatan seksual, pencurian dan perampokan. Dalam hal terjadinya
kematian dan kejahatan seksual, sering dipanggil dokter untuk mengadakan
pemeriksaan ditempat kejadiaan diatur dalam pasal 7 KUHAP.
8)
Pemeriksaan
tersangka
Sebelum
penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang dilakukan suatu tindak
pidana, maka penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk
mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkara itu wajib didampingi
penasehat hukum (pasal 114 KUHAP)
9)
Pemeriksaan
saksi dan ahli
Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradialan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.[10]
Mengenai hal ini, menurut pasal 224
KUHAP yang berbunyi:
"Barang siapa dipanggil menurut
undang-undang untuk menjadi saksi, ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak
melakukan suatu kewajiban menurut undang-undang, yang ia sebagai demikian harus
melakukan:
a. Dalam perkara pidana
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 bulan.
b. Dalam perkara lain,
dipidana dengan pidana penjara selam-lamanya 6 bulan.”
10)
Penyelesaian
dan Penghentian Penyidikan
Menurut
Syarifudin Petranase penyidikan itu dianggap selesai ketika dinyatakan bahwa:
a). Penyidikan dianggap selesai apabila
dalam waktu 7 hari,setelah penuntut umum menerima hasil pendidikan dari
penyidik, ada pemberitahuan dari penuntut umum bahwa penyidikan diaanggap
selesai. Pemberitahuan tersebut merupakan keharusan atau kewajiban bagi
penuntut umum seperti yang diatur dalam pasal 138 ayat 1 KUHAP.
b). Penyidikan diaanggap selesai
apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara
itu kepada penyidik sebagaimana yang diatur dalam pasal 110 ayat 4 KUHAP.
d.
Surat
Dakwaan
Surat dakwaan adalah rumusan tindak
pidana sebagai dasar dan batas pemeriksaan dan penuntutan yang dikehendaki UU
dalam sidang pengadilan.
1) Syarat-syarat dalam surat dakwaan[11]
a). syarat formil
Identitas lengkap terdakwa, seperti nama lengkap, tempat dan tanggal
lahir, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
b). syarat materiil
harus berisi uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai
tindakan pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tapi itu
dilakukan.
2) Cara merumuskan surat dakwaan
Cara merumuskan surat dakwaan: harus
mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi dan mengandung unsur
yuridis dari dari tindak pidana yang dilakukan.
3) Pembatalan Surat Dakwaan
a) pembatalan
formil: karena tidak memenuhi syarat mutlak yang ditentukan UU (batal demi
hukum).
b) pembatalan
hakiki: berdasarkan keputusan penilaian hakim karena kurangnya syarat yang
dianggap esensil (tergantung maksud dan tujuan surat dakwaan). Salah satu cara
pembelaan adalah membuat alibi, yaitu menyatakan tidak ada di tempat pada waktu
kejadian yang disebutkan dalam surat dakwaan.
4) Macam-macam Surat Dakwaan
a. dakwaan tunggal: terdakawa hanya
didakwa dengan satu dakwaan saja.
b. dakwaan
alternatif: terdakwa didakwa dengan dakwaan. Biasanya karena keraguan jaksa
tentang jenis TP apa yang tepat untuk menjadi dasar dakwaan.
c. dakwaan
subsidair: dakwaan dengan mengurutkan dari yang terberat.
d. dakwaan
komulatif: dakwaan sekaligus dan masing-masing berdiri sendiri.
e. dakwaan
campuran: campuran dari dakwaan alternatif, subsidair, dan komulatif.
5) Syarat penggabungan perkara:
a) beberapa
tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang yang sama.
b) sating
sangkut-paut antara satu tp dengan tp yang lain.
c) tidak
sangkut paut namun masih saling berhubungan dan dianggap perlu dalam proses pemeriksaan.
2. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan
a. Penentuan Hari Sidang Dan
Pemanggilan
Penentuan hari sidang di tentukan
oleh hakim yang di tunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara
(Pasal 152 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini, hakim tersebut memerintahkan kepada
penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan sanksi untuk datang disidang
pengadilan (Pasal 152 ayat (2) KUHAP).
b. Pemeriksaan Perkara Biasa
KUHAP membedakan tiga macam
pemeriksaan sidang pengadila. Pertama, pemeriksaan perkara biasa; kedua,
pemeriksaan singkat; ketiga, pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi
alas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas
jalan.
c. Pemeriksaan Singkat
Seperti telah disebut dimuka,
ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku juga bagi pemeriksaan
singkat, kecuali ditentukan. Hal ini dapat dibaca dalam pasal 203 ayat (3) yang
mengatakan bahwa dalam acara ini (acara pemeriksaan singkat) berlaku ketentuan
bagian kesatu, Bagian kedua, Bagian ketiga bab ini (XVI), sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan ketentuannya.
d. Pemeriksaan Cepat
Istilah yang dipakai HIR ialah
perkara rol. Ketentuan tentang acara pemeriksaan biasa berlaku pula pada pemeriksaan
cepat dengan kekecualian tertentu.
3. Putusan hakim pidana
a. Acara pengambilan
keputusan
Apabila hakim memandang pemeriksaan
sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum membacakan
tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya
membacakan pembelaann)a yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan
bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182
ayat (1) KUHAP).
b. Isi keputusan hakim
Setiap keputusan hakim merupakan
salah satu dari tiga kemungkinan, Bentuk-bentuk putusan pengadilan dalam
perkara pidana:
1) Putusan
Bebas: jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan dipersidangan,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan.
2) Putusan
Lepas dari Segala Tuntutan: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti , tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
3) Putusan
pemidanaan: Jika terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Sebelum membicarakan putusan akhir
tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari
penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan
keputusan akhir (vonnis), tetapi merupakan suatu ketetapan.
c. Formalitas yang harus
dipenuhi suatu putusan hakim
Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP
diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2)
pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada
huruf g, putusan batal demi hukum.
d. Subtansi putusan hakim
Surat putusan pemidanaan memuat:[12]
1)
Kepala
putusan yang dituliskan berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN TUHAN YANG
MAHA ESA".
2)
Nama
lengkap, tempat lahir, umur, tanggal lahir, jenis kelamin
3)
Dakwaan
sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
4)
Pertmbangan
yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
yang diperoleh di sidang pemeriksaan
5)
Tuntutan
pidana
6)
Pasal
aturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
7)
Hari
dan tanggal diadakannnya musyawarah majelis hakim
8)
Pernyataan
kesalahan terdakwa
9)
Ketentuaan
kepada siap biaya perkara dibebankan
10)
Keterangan
bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan
itu, jika dianggap ada akta oetentik yang palsu
11)
Perintah
supaya terdakwa ditahanatau tetap dalam tahanan atu dibebaskan
12)
Hari
dan tanggal putusan, nama penuntut, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
4. Upaya hukum
Adapun upaya hukum dibagi menjadi dua, yaitu:[13]
a. Upaya hukum biasa
KUHAP membedakan upaya hukum
biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan Bab XVII, sedangkan upaya
hukum luar biasa Bab XVIII. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian
kesatu tentang pemeriksaan banding dan bagian kedua tentang pemeriksaan kasasi.
1) Pemeriksaan tingkat banding Pemeriksaan tingkat Banding
a) Hakim
terdiri dari hakim majelis ( sekurang -kurangnya 3 orang )
b) Dasar
pemeriksaan adalah berkas perkara yang diterima dari PN (yang sudah dikirim
dalam waktu 14 Hari) berkas -berkas yang dikirim adalah:
i. Berita acara penyidikan
ii. Berita acara pemeriksaan sidang
iii. Alat-alat bukti yang ada serta surat -surat tertentu yang timbul
dipengadilan
iv. Putusan pengadilan
c) Dalam
pemeriksaan hakim banding adalah berkas -berkas perkara yang dikirim oleeh PN
tetapi jika perlu maka hakim PT dapat memanggil saksi-saksi, terdakwa atu
penuntut umum. Untuk melakukan konfirmasi. Hakim PT juga dapat memerintahkan
untuk melakukan pemeriksaan tambahan kepada PN atau melakukan sendiri.
2) Kasasi
Alasan-alasan dalam pengajuan kasasi:
a) Pengadilan
yang bersangkutan tidak berwenang atau melampaui batas wewenang dalam memeriksa
dan memutus sengketa yang bersangkutan.
b) Pengadilan
telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
c) Pengadilan
lalai memenuhi syarat -syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Sedangkan tata cara pengajuan Kasasi adalah sebagai berikut:
a) Diajukan
dalam waktu empat belas hari sesudah putusan diberitahukan kepada terdakwa.
b) Permintaan
tersebut ditulis oleh panitera dan ditandatangani oleh pemohon dan panitera.
c) Pemohon
kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohoan kasasi dalam
waktu 14 hari sejak permohonan kasasi diterirna panitera. Apabila dalam
tenggangwaktu tersebut pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak
untuk mengajukan kasasi gugur.
d) Pengiriman
berkas perkara ke Mahkamah Agung oleh Panitera selambat-lambatnya 14 hari
setelah permohonan kasasi tersebut lengkap.
b. Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa tercantum
didalam Bab XVIII KUHAP, yang terdiri atas dua bagian, yaitu bagian kesatu
pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan bagian kedua peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
1) Kasasi demi kepentingan umum
a)
Diajukan
oleh Jaksa Agung untuk satu kali
b)
putusan
yang dapat dilakukan kasasi demi kepentingan hukum adalah semua
putusanpengadilan yang telah mempuyai kekuataan hukum Tetap
c)
Tidak
boleh merugikan kepentingan para pihak
d)
Pengajuan
melalui Hakim PN
2) Peninjauan Kembali
Alasan Peninjauan Kembali:
a)
Ditemukan
/terdapat alat bukti lain yang apabila alat bukti tersebut ada pada
saatpemeriksaan sidang berlangsung akan menyebabkan:[14]
i.
Putusan
bebas
ii.
Putun
Lepas dari segala tuntutan hukum
iii.
Tuntutan
tidak bisa diterima
iv.
Memperoleh
Pidana yang lebih ringan.
b)
Apabila
dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakn telah terbukti
itu, temyata bertentanan satu dengan yang lain.
c)
Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu ke khilafan atu suatu kekeliruan
yangnyata. Tata cara pengajuan peninjauan kembali:
d)
Diajukan
ke Mahkmah Agung melalui Panitera yan mengadili.
e)
Permintaan
peninjauan kembali tersebut oleh panitera ditulis dalam surat keterangan
yangditandatangani oleh panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
5. Pelaksanaan putusan hakim pidana
Tata cara pelaksanaan putusan hakim pidana:
a. Pelaksanaan
Putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa (Pasal 270 KUHAP)
b. Pelaksanaan
pidana mati tidak dilakukan didepan umum (Pasal 271 KUHAP)
c. Pidana
dijalankan secara berturut-turut, jika terpidana dipidana penjara atau kurungan
dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum is menjalani pidana yang
dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan
pidana yang dijatuhkan lebih dahulu (Pasal 272 KUHAP )
d. Jangka
waktu pembayaran denda satu bulan dan dapat diperpanjang
e. Barang
bukti yang dirampas oleh negara dilelang dan hasilnya dimasukkan ke kas negara
f. Putusan
ganti rugi dilaksanakan secara perdata
g. Biaya
perkara dan ganti rugi ditanggung berimbang oleh para narapidana
h. Pidana
bersyarat diawasi dan diamati sungguh-sungguh.
F. Alat-alat Bukti Perkara Pidana
Kata "bukti" berarti
adalah suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk memperlihatkan
kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut).[15] Secara
terminologi dalam hukum pidana bukti adalah hal yang menunjukkan kebenaran,
yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan pemeriksaan
di sidang pengadilan.[16]
Kata bukti sering digabungkan dengan
istilah/kata lain seperti : alat bukti dan barang bukti. Alat bukti adalah
segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan
alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.[17]
Sedangkan barang bukti adalah hasil
serangkaian tindakan penyidik dalam kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan dan peradilan. penyitaan, dan atau penggeledahan dan atau
pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud.
Sehingga keduanya dipergunakan pada
waktu pembuktian di persidangan, pembuktian adalah suatu proses, cara,
perbuatan membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya siterdakwa dalam
sidang pengadilan.[18]
Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat
bukti dan kekuatan pembuktian dalam KHUAP masih tetap sama dengan yang
tercantum dalm HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada di Ned.
Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa
Kontinental.
Penyusunan alat-alat bukti
negara-negara common law seperti Amerika Serikat lain dari pada yang tercantum
dalam KHUAP kita. Alat-alat bukti menurut Criminal Procedure Law Amerika
Serikat yang disebut Forms of evidence terdiri dari:
1. Real evidence (bukti sungguhan)
2. Documentary evidence
(bukti dokumenter)
3. Testimonial evidence
(bukti kesaksian)
4. Judicial evidence
(pengamatan hakim)
Tidak disebut alat bukti kesaksian
ahli dan keterangan terdakwa. Kesaksian ahli digabungkan dengan bukti
kesaksian. Yang lain dari pada yang tercantum dalam KHUAP kita, ialah real
evidence yang berupa objek materiil (materil object) yang meliputi tetapi tidak
terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi, dan
lain-lain. Benda-benda ini berwujud. Real evidence ini biasa disebut bukti yang
berbicara untuk diri sendiri (speaks for it self). Bukti bentuk ini dipandang
paling bernilai dibanding bukti yang lain.
Real evidence ini tidak termasuk
alat bukti menurut hukum acara pidana kita (Belanda), yang biasa disebut
"barang bukti". Barang bukti yang berupa objek mareriil ini tidak
bernilai jika tidak di dentifikasi oleh saksi (dan terdakwa). Misalnya saksi
mengatakan, peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk
memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti yang ada.
Menurut pasal 184 KUHAP, alat-alat
bukti ialah
1.
Keterangan
saksi;
2.
Keterangan
ahli;
3.
Surat;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan
terdakwa.
Adapun penjelasan dari alat bukti
dalam perkara pidana yaitu:
1. Keterangan saksi; dalam praktek
sering disebut dengan kesaksian. Kesaksian adalah wujud kepastian yang
diberikan kepada hakim di muka sidang tentang peristiwa yang disengketakan
dengan cara memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam sengketa, yang dipanggil secara patut oleh pengadilan.
Keterangan saksi adalah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Di dalam
penggolongannya keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yatu
kelompok relatif dapat didengar kesaksiannya. yang secara absolut tidak boleh
menjadi saksi dan kelompok, yaitu:
a.
Yang
tidak dapat menjadi saksi secara absolut diantaranya anak yang belum berumur 15
tahun dan belum pernah kawin, orang yang sakit jiwa atau kurang ingatan
meskipun kadang-kadang ingatannya baik.
Yang tidak dapat menjadi saksi
secara relatif diatur dalam pasal 168 KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
1) keluarga
sedarah dalam garis lurus keatas atau kebawah sampi derajat ketiga dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2) saudara
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, ibu atau bapak dan juga
mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga.
3) suami
atau istri terdakwa meskipun sudah bercarai (pasal 169 KUHAP).
b.
Di samping
tidak cakap secara absolut maupun relatif juga terdapat pihak-pihak yang karena
jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan sebagai saksi terhadap
hal-hal yang dipercayakan kepada mereka dan hakim lah yang memutus soh atau
tidaknya alasan tersebut (pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP)[19]
Dalam memberikan
kesaksian,pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak. Dan bagaiman cara
mengucapkan sumpah yang diucapkan dari seorang saksi dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP yakni "sebelum memberikan keterangan,
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing,
bahwa is akan memberikan keterangan yang sebenarnya".[20]
3. Keterangan
ahli: Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan
di sidang pengadilan. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 ke 28 KUHAP), tidak semua
keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, melainkan yang dapat memenuhi
syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan dimuka persidangan (pasal 186
KUHAP).
4. Surat;
merupakan segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan pikiran dan isi hati seseorang yang ditujukan untuk dirinya dan
atau orang lain yang dapat digunakan untuk alat pembuktian. Pasal 187 KUHAP
menyebutkan surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat
atas sumpah jabatan atau dikutipkan dengan sumpah, adalah :
a. berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat
yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;
c. surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian
yang lain.
4. Petunjuk; Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik anttara yang satu dengan
yang laiinya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana atau siapa pelakunya tersebut disebut dengan
persangkaan undang-undang.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik anatara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana siapa pelakunya (pasal 188 ayat (2) KUHAP) petunjuk
sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh : a. Keterangan
saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Penulisan atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksian berdasarkan had nurani (pasal 188 ayat (3) KUHAP).
5. Keterangan terdakwa: Keterangan
terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang pengadilan tentang
perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui atau ia alami sendiri.
Pasal 189 KUHAP menegaskan :
a. keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b. keterangan
terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c. keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d. keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.[21]
Adapun barang bukti dapat juga
diajukan kedalam persidangan namun hanya berfungsi sebagai menguatkan keyakinan
hakim terhadap benarnya telah terjadi suatu tindak pidana dan dalam memutuskan
perkara yang sedang ditanganinya. Barang bukti bisa berupa alat atau pun
senjata yang dipergunakan pelaku kejahatan, jejak yang ditinggalkan pelaku dan
sebagainya.
G. Perbedaan antara Hukum Acara Pidana dengan Hukum Acara Perdata
Hukum acara yang mengatur dan
melaksanakan soal-soal peradilan disebut hukum acara pengadilan, yang terdiri
dari hukum acara perdata dan hukum acara pidana.
Hukum acara perdata ialah rangkaian
peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan
pengadilan perkara perkara keperdataan dalam arti luas dan cara melaksanakan
putusan-putusan (Vonnis) hakim juga diambil berdasarkan peraturan-peraturan tersebut.
Dapat juga disebut rangkaian peraturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara
dan mempertahankan hukum perdata material.[22]
Adapun lapangan keperdataan itu
memuat peraturan-peraturan tentang keadaan hukum dan perhubungan hukum yang
mengenai kepentingan-kepentingan perorangan, misinya: soal perkawinan, jual
bell, sewa menyewa, hak milik, hutang piutang, waris, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga hukum yang terdapat dalam lapangan keperdataan yaitu:
pengadilan perdata, kantor catatan sipil, notaris, juru sita, juru lelang dan
lain sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum
acara pidana yaitu rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara
mengajukan ke depan pengadilan tentang perkara-perkara kepidanaan dan dan
bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim. Adapun lapangan hukum
kepidanaan meliputi hal pengusutan, penuntutan, penyeldikan, penahanan,
pemasyarakatan dan lain-lainya.[23]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Yang dimaksud hukum acara pidana yaitu
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak
hukum melaksanakan dan mempertahankan hukum pidana.
2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu
untuk menemukan kebenaran materiil. Kebenaran materiil yaitu kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum pidana secara jujur dan tepat. Sedangkan Fungsi hukum acara pidana adalah
menegakkan/menjalankan hukum pidana. Hukum acara pidana beroprasi sejak adanya
sangkaan tindak pidana walaupun tanpa adanya permintaan dari korban kecuali
tindakan pidana yang ditentukan lain oleh UU.
3. Asas-asas Hukum Acara Pidana
Adapun asas-asas yang terdapat pada
hukum acara pidana yaitu:
a.
Asas
persamaan di muka hukum ( Equality Before The Law)
b.
Asas
perintah tertulis dari yang berwenang penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat
berwenang dan dengan cara yang diatur oleh undang-undang.
c.
Asas
praduga tak bersalah (presumtion of innocent)
d.
Asas
pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah faham dan salah
tuntut.
e.
Asas
peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak.
f.
Asas
memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya
g.
Asas
wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
h.
Asas
hadirnya terdakwa
i.
Asas
pemeriksaan di muka umum
j.
Asas
pengawasan pelaksanaan putusan
4. Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Adapun pihak-pihak yang terlibat
dalam hukum acara pidana yaitu: Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Saksi, Saksi
ahli, Penyidik, Penyelidik, Penyidik pembantu, Jaksa, Hakim, Advokat kuasa
hukum dan Pejabat aparat eksekusi.
B. Saran
Inilah yang diwacanakan pada
penulisan ini, meskipun penulisan ini jauh dari kata sempurna, minimal kita
bisa mengimplementasikan tulisan ini. Mungkin masih banyak kesalahan dari
penulisan makalah ini, karena kami adalah manusia yang tempatnya salah dan
doss: dalam hadits "al insanu minal khotto' wannisa', dan kami juga butuh
saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik
dari masa sebelumnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih
untuk dosen pembimbing mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia, yaitu Bapak Ahmad
Musadad, S.HI., M.SI yang telah memberikan hantuan dalam proses pembuatan
makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdussalam, H. R. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam
mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat. Jakarta: Restu Agung.
Hamzah, Andi. 1984. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kansil, C.T.S. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2013. Hukum
Acara Pidana. cet. Ke-1. Jakarta: Djambatan.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2014. Hukum
Acara Pidana. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Petranse, Syarifudin H.Ap dan Sabuan Ansori. 2000. Hukum Acara
Pidana. Indralaya: Universitas Sriwijaya.
Salam, Faisal. 2012. Hukum
Acara Pidana Militer di Indonesia. Jakarta: Mandar Maju.
Waluyadi. 1999. Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana.
Bandung: Mandar Maju.
Yudowidagdo, Hendraswanto. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara
Pidana di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
[1] Luhut
M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, cet. Ke-1, (Jakarta: Djambatan,
2013), hlm. 76.
[2]
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia, cet. Ke-3, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987), hlm. 105.
[3] Petranse
dan Sabuan Ansori, Hukum Acara Pidana, cet. Ke-1, (Indralaya:
Universitas Sriwijaya, 2000), hlm., 104.
[4] C.T.S.
Kansil, Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-8, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 347.
[5] Ibid.,
hlm. 350.
[6] Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, cet. Ke-3, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987), hlm. 112.
[7] H. R
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia dalam mewujudkan Rasa Keadilan
Masyarkat, (Jakarta: Restu Agung, 2006), hlm., 717-718.
[8] C.T.S.
Kansil, Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-8, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 334.
[9] Petranse
dan Sabuan Ansori, Hukum Acara Pidana, cet. Ke-1, (Indralaya:
Universitas Sriwijaya, 2000), hlm. 90.
[10] Ibid.,
hlm. 117.
[11] Luhut
P.M. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti,
2014), hlm 87.
[12] Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, cet. Ke-3, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1987), hlm. 156.
[13] Ibid.,
hlm. 187.
[14] Ibid.,
hlm.. 200.
[15] Lilik
Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2008), hal 92.
[16] Andi
Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, cet. Ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hal 27.
[17] Hari
sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktion dalam Perkara Pidana,
(Bandung: Mandar Maju, 2003), hal 11.
[18] Surat
Keputusan Kapolri No Pol: Skep/1205/IX/2000 Tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana, Jakarta, 2000,ha1.80.
[19] Waluyadi,
Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal.
101
[20] Hendrastanto
Yudowidagdo dkk, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, 1987), hlm 245.
[21] Ibid.,
hal. 110
[22] Faisal
Salam, Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Mandar Maju,
2012), hlm. 7.
[23] C.T.S.
Kansil, Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia, cet. Ke-8, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), hlm. 332.