ANALISIS
YURIDIS
PUTUSNYA
PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN DAN AKIBATNYA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum
Perdata
Dosen
Pengampu:
Achmad
Badarus Syamsi, S.HI., M.H.
Disusun
oleh:
Dery
Ariswanto (130711100086)
Novia
Ulfah (130711100002)
Laras
Widyastuti (130711100007)
HUKUM
BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2015
Kasus perceraian antara Marlikah dengan suaminya Solkan (2002)
Perkenalan antara Marlikah dengan calon suaminya yang bernama
Solkan di kota Surabaya menjadi awal yang baik untuk terjalinnya cinta diantara
mereka. Karena dari perkenalan itu ada cinta yang mulai berbunga-bunga, maka
Marlikah memperkenalkan sang calon kepada kedua orang tuanya di desa Paciran
Kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. Ternyata kedua ortu Marlikah menerima
dengan baik dan sangat senang kepada calon mantu Solkan ini.
Lalu perjalanan cinta berlanjut, kedua orang tua Marlikah
mengunjungi kediaman orang tua si di kabupaten Lamongan. Tapi alangkah
kagetnya, kedua orang tua Marlikah mendapati kenyataan bahwa kondisi ekonomi
sang calon mantu sangat memperihatinkan. Tapi, dasarnya orang tua Marlikah
orang baik dan bijak, keadaan itu tidak mengganggu nuraninya untuk tetap
merestui hubungan anaknya dengan Solkan. Malahan, untuk mendukung perjalanan
hidup anak gadisnya yang semata wayang, kedua orang tuanya bersedia
membangunkan rumah Solkan menjadi layak huni bagi mereka berdua kelak, apalagi
calon besan hanya tinggal ibunya Solkan yang sudah tua.
Sesudah dibangun dan menghabiskan biaya sampai 150 juta rupiah,
prabotannyapun diisi dari mulai tempat tidur, kursi sofa, kursi makan, lemari
pakain, kompor gas dan sejumlah alat rumah tangga lainnya. Pokoknya, kalau
mereka sudah kawin, tinggal masuk dan menikmati fasilitas yang sudah
disediakan.
Lalu tibalah waktunya perkawinan, dan mereka melangsungkan
pernikahan di hadapan pejabat PPN Kantor Urusan Agama Kecamatan Paciran dengan Kutipan Akta Nikah No:
461/29/I/2002 tertanggal 12 Januari 2002. Tapi, perjalanan cinta yang
diharapkan berbunga-bunga dan akan menghasilkan buah ternyata tidak sesuai
harapan. Setelah mereka menikah mereka memiliki satu orang anak. Kemudian
setelah itu, Sang suami mempunyai perilaku aneh, sang isteri dibiarkan saja
tanpa disentuh. Malah kalau malam dia tidur sama ibunya sendiri.
Sudah begitu, cemburunya si Solkan sangat besar. Sang isteri tidak
boleh bicara sama lelaki lain, padahal dia jaga toko. Tiap hari harus melayani
pembeli yang kebanyakan lelaki. Maka tiap hari pula Solkan marah-marah sama si
isteri. Tidak hanya sampai di situ perlakuan buruk si suami, bahkan Marlikah
tidak boleh keluar rumah, tidak boleh telepon pakai telepon rumah ke orang
tuanya, bahkan mandipun tidak boleh pakai air banyak (maklum disitu kebetulan
airnya sulit). Akhirnya Marlikah tidak tahan dan pulang ke rumah orang tuanya.
Lama tidak pulang, Solkan mengajukan gugatan cerai terhadap
Marlikah di kabupaten Lamongan. Ibarat pepatah "pucuk dicinta ulam
tiba", maka gayungpun bersambut. Dalam waktu l x 2 bulan proses perkara
perceraian telah diputus oleh Pengadilan Agama Lamongan.
A. INTISARI DARI KASUS
Pada masa yang modern seperti ini banyak terjadi perceraian dalam
keluarga. Banyak hal yang dijadikan alasan perceraian, seperti perselingkuhan,
kekerasan dalam rumah tangga, dan adanya pria atau wanita idaman dalam pasangan
tersebut serta perbedaan yang ada dalam pasangan tersebut. Perbedaan pemikiran
ataupun kehendak bukanlah suatu alasan yang logis dalam perceraian. Salah satu
kasus perceraian seperti yang dialami oleh Ibu Marlikah.
Pada
tahun 2002, Marlikah dan Solkan telah melangsungkan pernikahan di hadapan
pejabat PPN Kantor Urusan Agama Kecamatan
Paciran dengan Kutipan Akta Nikah No: 461/29/I/2002 tertanggal 12
Januari 2002. Sebelum menikah, orang tua Marlikah membangun sebuah rumah di
atas tanah dengan menghabiskan biaya sekitar Rp. 150.000.000,- agar anaknya
dapat hidup layak di rumah yang baru. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang
anak dan setelah itu Marlikah tidak pernah mendapatkan nafkah lahir dan batin
dari suaminya (Solkan).
Di
samping itu, Marlikah selalu mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya, karena
tidak tahan atas perlakuan suaminya Marlikah pulang ke rumah orang tuanya.
Kemudian pada tahun 2014, Solkan menggugat cerai Marlikah. Gugatan tersebut
disambut baik oleh Marlikah dan 2 bulan kemudian Pengadilan Agama Lamongan
memutuskan mengabulkan permohonan cerai dari Solkan. Hakim Pengadilan Agama Lamongan memutuskan
bahwa anak yang masih balita berada dalam pengasuhan Ibunya (Marlikah).
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasakan
Problematika kehidupan rumah tangga yang berakhir pada perceraian tersebut
dapat diambil rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
akibat perceraian tersebut terhadap anak?
2. Bagaimanakah
akibat perceraian terhadap harta perkawinan?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasakan
Problematika kehidupan rumah tangga yang berakhir pada perceraian tersebut
dapat diketahui tujuan dari penulisan analisis ini Adapun tujuannya adalah
sebagai berikut
1. Untuk menganalisis akibat perceraian terhadap anak.
2. Untuk menganalisis akibat perceraian terhadap harta perkawinan.
D. MANFAAT PENULISAN
Supaya
penelitian ini bermanfaat bagaimana pun bentuk dan isinya pasti memiliki dampak positif terhadap objeknya
yaitu:
1.
Manfaat Teoritis
Dengan
adanya penelitian ini, diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan teori hukum
(Undang-Undang tentang perkawinan). Yang mana pemerintah harus menerapkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2.
Manfaat Praktis
Dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi beberapa pihak yaitu kepada masyarakat yang dalam hal ini sebagai subyek
hukum yang berhak mendapatkan kepastian hukum dalam status perceraiannya.
Kepada instansi pemerintah agar membantu masyarakat dalam proses perceraian di
Pengadilan berjalan dengan semestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan
dalam bercerai para pihak harus berhati-hati untuk memikirkan lebih lanjut
tentang akibat yang ditimbulkannya.
E.
KAJIAN PUSTAKA
1.
Perkawinan
Perkawinan
diatur dalam buku Kesatu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum yang mengatur secara khusus tentang
perkawinan ada dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Menurut pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam
pasal 2 ayat 1menyatakan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Bahwa calon
suami istri harus memiliki satu keyakinan dan kepercayaan yang sama . Sedangkan
pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Menurut pasal 199 KUHP perkawinan berakhir
karena :
a.
Kematian
b.
Ketidakhadiran
menurut Undang-Undang dan dilangsungkannya perkawinan baru
c.
Keputusan
hakim setelah pisah meja dan tempat tidur, serta pendaftarannya di register Kantor
Catatan Sipil
d.
Perceraian
2.
Perceraian
Perceraian
adalah pengakiran suatu pernikahan karena suatu sebab, dengan keputusan hakim.
Perceraian atas persetujuan suami isteri tidak diperkenankan (Pasal 208).
Terhadap ketentuan ini sering dilakukan penyalahgunaan sebagaimana akan
diuraikan dibawah ini.
a.
Alasan
yang dipakai supaya permintaan perceraian berhasil adalah:[1]
1). Zina,
Perlu diketahui bahwa zina
menurut BW (KUHPerdata) berlainan atau berbeda dengan zina menurut hukum Islam.
Definisi zina menurut BW adalah hubungan kelamin denganorang selain dari suami
atau isterinya. Jadi menurut BW orang yang tidak menikah dan tidak mempunyai
suami atau isteri tidak berzina apabila ia mengadakan hubungan kelamin dengan
seseorang yang tidak menikah.
Ketentuan bahwa zina adalah
suatu alasan sah untuk meminta perceraian sering disalahgunakan. Umpamanya,
apabila seorang suami dan seorang isteri bersepakat untuk bercerai karena ketidakcocokan, maka pengakuan salah
satu pihak atas tuduhan yang lain, nbahwa ia telah berzina, adalah cukup
sebagai alasan untuk berhasilnya permohonan perceraian, walaupun dalam
kenyataan ia tidak melakukan hubungan kelamin orang lain. Ini adalah akibat
dari posedur perdata yang hanya menuntut kebenaran formal (formele
werkelijkheid) sedangkan prosedur kriminal memerlukan kebenaran materiil
(materiele werkelijkheid).
2).
Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat, adalah sebagai berikut: meninggalkan tempat
tinggal dan tetap , adalah sebagai
berikut: meninggalkan tempat tinggal dan tetap menolakmenolak kembali ke tempat
kediaman versama tanpa alasan cukup selama 5 tahun (Pasal 211).
Jangka waktu lima tahun
berlaku mulai dari saat meninggalkan tempat tinggal bersama atau dari saat
sseorang semula meninggalkan tempat tinggal bersama dengan alasan yang sah itu
sudah berakhir. Orang yang meninggalkan tempat tinggal bersama harus tetap
menolah kembali kepada tempat tinggal bersama, karena itu diperlukan suatu
somasi yang dilakukan oleh juru sita
untuk kembali ke tempat tinggal semula.
3). Mendapat penjara 5 tahun atau lebih dalam
suatu keputusan hakim yang diucapkan setelah pernikahan,
Pembuat Undang-Undang ini bermaksud bahwa sesorang tidak wajib tetap terikat dengan seorang
kriminal atau penjahat yang telah diadili. Keputusan hukum yang diambil di luar
negeri juga dapat dipakai alasan permohonan perceraian.
4). Melukai berat atau menganiaya, yang dilakukan
oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya, dengan cara demikian sehingga
membahayakan jiwa korban atau sehingga korban memperoleh luka-luka yang
membahayakan (pasal 209),
Jika melihat ketentuan tersebut, ada peristiwa yang bukan alasan
untuk memintas perceraian :
-
memukul anak berkali-kali walaupun pukulan itu berbahaya
-
mabuk terus-terusan serta merusak barang
-
suatu percobaan membunuh istri atau suami.
5).(Yang baru) keretakan yang tidak dapat dipulihkan/onheelbare
tweespalt (yurisprudensi Kep. MA Ref. No.239K/Sip/1968).
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 116 disebutkan
bahwa alasan-alasn suami atau isteri untuk menjatuhkan talak atau gugatan
perceraian ke pengadilan adalah sebgai berikut:
1)
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebaginya yang sukar disembuhkan.
2)
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3)
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat
setelah perkawinan berlangsung.
4)
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
5)
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan
kewajibannya sebagai suami isteri.
6)
Antara
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7)
Suami
melanggar ta’lik talak
8)
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkab ketidakrukunan dalam rumah tangga.
b. Cara (Prosedur) Meminta Perceraian
Tuntutan harus diajukan
Pengadilan Negeri di tempat tinggal (utama) suami, kecuali suami tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau tempat tinggalnya tidak diketahui, dalam
hal-hal ini permohonan dapat dilakukan ke pengadilan negeri di tempat tinggal
isteri.
Pada umumnya prosedur perceraian adalah sebagai berikut:[2]
1)
Memasukan
surat permohonan perceraian ke Pengadilan Negeri;
2)
Suami/isteri
dipanggil menghadap hakim yang harus mencoba merujukan mereka; jika tidak
berhasil;
3)
Hakim
dapat mengambil keputusan mengenai tempat tinggal lain untuk isteri dan anak-anak
serta menegani kekuasaan orang tua;
4)
Izin
dari hakim untuk menuntut perceraian ; dan
5)
Sidang
serta keputusan hakim.
Selama proses perceraian,
berdasarkan Pasal 215 jo.480 dan 823 B Rv, isteri dapat meminta agar hakim
mengambil tindakan untuk menjamin haknya, yaitu memerintahkan penyegelan serta
pencatatan harta pencampuran, jika perlu meletakkan sita konservatoir (jaminan)
atas harta tetap percampuran harta pernikahan.
Walaupun keputusan perceraian sudah mempunyai kekuatan hukum,
pernikahan baru berakhir dengan pendaftaran keputusan itu ke dalam daftar
Kantor Catatan Sipil ditempat pernikahan itu didaftar; pendaftaran ini harus
dilaksanakan dalamm waktu 6 (enam) bulan setelah perceraian mempunyai kekuatan
hukum. Jika pernikahan dahulu dilakukan di Luar negeri, maka pendaftaran
dilakukan di Kantor Catatan Sipil Jakarta. Jikan pendaftaran itu tidak
dilakaukan dalam jang ka waktu 6 (enam) bulan, maka kekuatan keputusan itu
dihapus dan dengan alsan yang sama tidak dapat diajukan perceraian baru (pasal 221
ayat 4 KUH Perdata).[3]
Pada dasarnya perceraian dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
cerai talak dan cerai gugat. Adanya pembagian cerai itu, akan beda pula
prosedurnya dalam mengajukan perceraian tersebut. Dalam pasal 14 sampai dengan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 yang mengatur tentang prosedur
perceraian, yang dijatuhkan oleh suami terhadap isteri sebagai berikut :
1)
Suami
yang menjatuhkan talak pada isteri mengajukan permohonan baik lisan maupun
tulisan ke pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan
alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu;
2)
Pengadilan
mempelajari permohonan dan memanggil para pihak;
3)
Mengadakan
sidang untuk menyaksikan ikrar talak
4)
Pengadilan
mengesahkan perceraian tersebut;
5)
Pengadilan
mengeluarkan keterangan perceraian rangkap;
6)
Perceraian
dihitung terjadi sejak perceraian dinyatakan didepan persidangan pengadilan.
Prosedur yang rinci tentang cerai talak dapat
kita lihat di pasal 129 sampai dengan pasal 148 Kompilasi Hukujm Islam. Tata
cara cerai talak adlah sebagai berikut:
1)
Seorang
suami yang akan mengajukan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sedang untuk
keperluan itu.
2)
Pengadilan
Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan tersebut dan dalam waktu yang
selambat-lambatnya tigapuluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta
penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan
talak.
3)
Setelah
Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup
alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan putusannya tentang izin
bagi suami untuk mengikrarkan talak.
4)
Setelah
putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan
sidang Pengadilan Agama dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
5)
Bila
suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak
putusan Pengadilan Agama tetap tentang izin ikrare talak baginya mempunyai
kekuatan hukum tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan
perkawinan utuh;
6)
Setelah
sidangmenyatakan ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang
terjadinya talak, dalam rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi
bekas suami-isteri. Helai Petama beserta
surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami untuk diadakan pencatatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing
diberikan kepada suami-isteri dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.
7)
Gugatan
Cerai talak ini dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan Agama.
Sedangkan prosedur untuk mengajukan gugatan
cerai oleh isteri dikemukakan berikut ini:
1)
Gugatan
perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang
daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Dalam hal tergugat bertempat kediaman
di luar negri, Ketuan Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat.
2)
Gugatan
perceraian karena alasan:
a)
salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua tahun) berturut-turut tanpa
izin pihak lain dsan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya dapat diajukan setelah lampau 2 tahun terhitung sejak tergugat
meninggalkan rumah, gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.
b)
antara
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertenggakaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalanm rumah tangga dapat diterima apabila
telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan
pertengkaran itu dan setelah mendengar
pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut;
c)
Suami
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah
perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti
penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutuskan perkara
disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
3)
Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat
berdasarkan bertimbangan bahaya yang yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama
mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
4)
Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan Agama dapat:
a)
menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b)
menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
bersama suami-isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang
yang menjadi hak isteri.
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal
sebelum adanya putusannya Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian
tersebut.
3.
Akibat Perceraian
Akibat perceraian adalah berakhirnya:[4]
a.
Pernikahan
b.
Percampuran
harta pernikahan
c.
Kewajiban
suami untuk memberi nafkah kepada isteri atau sebaliknya; dan
d.
Kekuasan
orangtua terhadap anak dibawah umur.
Dalam
perceraian kewajiban dapat diubah menjadi tunjangan suami atau isteri kepada
isteri atau suami yang menang dalam tuntutan perceraian. Jika bekas suami atau
isteri setelah menunggu 1 tahun, menikah
sama lain untuk kedua kalinya, maka segala akibat pernikahan pertama
hidup kembali seolah-olah tidak perceraian. (Pasal 232 (a)). Dengan catatan
ketentuan ini tidak memungkinkan
suami-isteri untuk melakukan pernikahan kedua kalinya membuat suatu pengubahan
dalamstatus harta pernikahan berlainan dari yang berlaku untuk pernikahan
pertama; artinya apabila pernikahan pertama dilakukan dengan percampuran harta,
maka pernikan kedua tidak mungkin dilakukan dengan perjanjian nikah nikah pisah
harta atau sebaliknya, suatu cara yang kadang-kadang dipakai oleh pengacara
untuk mengubah status harta pernikahan antara suami-isteri dengan menasihatkan
agar mereka bercerai dulu dan menikah kembali dengan perjanjian nikah.
Putusnya
perkawinan diatur dalam:[5]
a.
Pasal 38 sampai dengan pasal 41 Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang perkawinan
b.
Pasal
14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata
c.
Pasal
113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Menurut
Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 ada 3 macam putusnya perkawinan yaitu :
a.
Kematian
b.
Perceraian
dan
c.
Keputusan
pengadilan.
Sedangkan
di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan menjadi empat
macam yaitu:
a.
kematian
salah satu pihak
Putusnya
perkawinan karena kematian adalah berakhirnya perkawinan yang disebabkan salah
satu piha yaitu suami atau isteri meninggal dunia
b.
tidak
hadirnya suami-isteri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru
c.
adanya
putusan hakim
d.
perceraian
Perceraian
adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu
pihak dal;am perkawinan.[6] Putusnya
perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena dua hal yaitu:
1)
Talak
Talak adalah ikrar suami di hadapan pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan.
Talak dibagi menjadi 5 (lima) macam yaitu
a)
Talak
raj’i
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami nerhak
rujuk selama isteri dalam masa iddah;
b)
Talak
bain shughraa
Talak bain shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi
boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah;
c)
Talak
bain kubraa
Talak bain kubraa adalah talak yang terjadi untuk kedua kalinya.
Talak ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan lagi kecuali
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya;
d)
Talak
Suny
Talak suny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan
terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci itu;
e)
Talak
Bid’i
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut
2)
Berdasarkan
gugatan perceraian
Gugatan perceraian adalah perceraian yang disebabkan adanya gugatan
lebih dahulu oleh salah satu pihak, khususnya isteri ke Pengadilan.
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a)
memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas
isteri tersebut qobla al dukhul;
b)
memberikan
nafkah, mas kawin, dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam masa iddah,
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil;
c)
melunasi
mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separo apabila qobla al dukhul;
d)
memberikan
biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai usia dewasa.
Yang menjadi hak suami terhadap isterinya adalah melakukan rujuk
kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah. Masa iddah adalah waktu
tunggu bagi isteri untuk menerima atau menolak suaminya. Waktu tunggu bagi
janda ditentukan sebagai berikut:
a)
Perkawinan
putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130
(seratus tigapuluh) hari.
b)
Perkawinan
putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga)
kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilanpuluh) hari.
c)
Perkawinan
putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d)
Perkawinan
karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan (Pasal 153 ayat 2 Inpres Nomor 1 Tahun 1991).
e)
Tidak
ada waktu tunggu bagi yang ptus perkawinan karena perceraian, sedang antara
janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
f)
Bagi
perkawinan putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya
putusan karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan
yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.
g)
Waktu
tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak
haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
h)
Bagi
wanita yang pernah haid bukan karena menyusui, maka iddanhnya selama 1 (satu)
tahun, tetapi apabila dalam waktu satu tahun ia kembali haid, maka iddanhnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Yang menjadi kewajiban isteri yang ditalak oleh suaminya dalam masa
iddah adalah:
a)
Menjaga
dirinya
b)
Tidak
menerima pinangan
c)
Tidak
menikah dengan pria lain, sedangkan yang menjadi hak istri dalam masa iddah
adalah mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia nusyuz.
Ada 3 (tiga) akibat putusnya perkawinan karena perceraian (Pasal
156 Inpres Nomor 1 Tahun 1991) yaitu :
a)
Terhadap
anak-anaknya
b)
Terhadap
harta bersama
c)
Terhadap
mut’ah
Sedangkan menurut pasal 41 KUH Perdata, akibat putusnya perkawinan
karena perceraian yaitu:
a)
Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;
b)
Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan tidak adapat memenuhi
kewajiban kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c)
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
4.
Harta Benda Dalam Perkawinan
Harta dibagi 2 (dua) jenis yaitu:
a.
Harta
bersama
Dalam Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”. Harta bersama adalah harta benda atau harta kekayaan yang didapat
oleh suami atau isteri dalam masa pernikahan walaupun itu menggunakan uang
hasil pendapatan istri atau suami sendiri atau atas pendapatan bersama.
b.
Harta
Bawaan
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. (Pasal 35
ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Dalam pasal selanjutnya dijelaskan lebih lanjut mengenai harta
bersam dan harta bawaan yaitu:
Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa “Mengenai harta bersama suami atau
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Dan pasal 36 ayat 2
menyatakan bahwa “ Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
5.
PEMBAHASAN
a.
Akibat Perceraian Terhadap Anak
Seperti yang diutarakan pada kasus perceraian Marlikah dan Solkan
bahwa sebelum terjadinya perceraian dalam pernikahan mereka telah dilahirkan seorang anak. Yang mana anak
itu belum berusia genap satu tahun.
Anak dari Marlikah dan Solkan adalah anak yang sah karena
dilahirkan dari perkawinan yang sah antara mereka. Anak tersebut dikatakan
sebagai anak yang sah karena sesuai dengan pasal 42 UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 99, anak yang
sah adalah :
1)
anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
2)
hasil
pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Akibat perceraian kedua orang tuanya, anak dari Marlikah dan Solkan
secara otomatis akan kekurangan kasih sayang dari orang tuanya sejak mereka
hidup terpisah (tidak mendapatkan kasih sayang secara utuh). Walaupun
kekurangan kasih sayang, anak tersebut harus mendapatkan pemeliharaan dan
pendidikan sampai dia mampu untuk berdiri sendiri atau dianggap dewasa. Seperti
halnya yang tecantum dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagai berikut;
Adapun akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu:
1)
Baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;
2)
Bapak
yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan tidak adapat memenuhi kewajiban
kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3)
Pengadilan
dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Sedangkan dalam pasal 105 Kompilasi hukum Islam, dalam hal
terjadinya perceraian:
1)
Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya;
2)
Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya
3)
Biaya
pemeliharaan ditanggung ayahnya.
Berdasarkan pada ketentuan pasal itu, dapat dipahami bahwa sudah
selayaknya hak asuh terhadap anak dari Marlikah dan Solkan itu adalah merupakan
hak dari Ibunya. Mengingat umurnya masih dikategorikan mumayyiz dan masih perlu
pemeliharaan dan kasih sayang Ibunya. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 105
KHI pada ayat 1.
Dalam pasal 106 menyatakan bahwa:
1)
Ayat
1 : orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum
dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan
kemaslahatan anak itu mengehendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindarkan lagi.
2)
Ayat
2 : Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan
dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat 1.
Oleh karena itu, kedua orang tua dari anak tersebut baik Ibu dan
Bapaknya wajib menjalankan ketentuan-ketentuan terhadap diri anaknya sesuai
dengan yang tertera di atas walaupun sudah dalam kondisi berpisah.
b.
Akibat perceraian terhadap harta kekayaan
Dalam kasus perceraian Marlikah dan Solkan tidak dijelaskan secara rinci
ada atau tidaknya harta bersama, ada tidaknya perjanjian pernikahan. Hanya
dijelaskan bahwa sebelum menikah orang tua Nyonya SW membangunkan rumah diatas
tanah milik Solkan dengan total biaya sebesar Rp. 150.000.000,-. Bukti riilnya
adalah sebuah bangunan tidak ada surat-menyurat yang menyatakan bahwa bangunan
tersebut dibangun atas biaya atau harta bawaan dari Marlikah. Tapi kalau ada
satu bukti yang menyatakan bahwa bangunan tersebut dibangun oleh Marlikah sebelum
masa pernikahan seperti yang tertuang dalam Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah
tersebut atas nama Marlikah, yang mana surat tersebut dibuat sebelum masa
pernikahan dengan Solkan, maka Marlikah dapat menuntut haknya. Tetapi kalau tidak ada
IMB atas nama Marlikah maka tanah dan bangunan itu dianggap milik Solkan (harta
bawaan) sebelum pernikahan.
Lain halnya jika tanah tersebut dibangun pada masa pernikahan
antara Marlikah dan Solkan, maka bangunan itu dianggap harta bersama dan
Marlikah berhak sebagaian atas bangunan itu walaupun pembangunannya atas biaya
orang tua Marlikah.
Jalan satu-satunya yang dapat ditempuh oleh Marlikah terhadap
bangunan tersebut adalah mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Lamongan agar
pengadilan memutuskan untuk menjual tanah dan bangunan untuk kesejahteraan anak
mereka. Atau dibicarakan secara musyawarah kepada Solkan, kemudian bersepakat
untuk menjual tanah dan rumah tersebut, sebagian dari hasil penjualan untuk
keperluan merawat, mendidik, dan biaya kesejahteraan anak mereka sampai dewasa.
Sehingga jika tidak ada bukti yang sah atas kepemilikan bangunan
tersebut maka tanah dan bangunan itu dianggap sebagai harta bawaan milik Solkan. Seperti yang dituangkan pada
Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa “Harta bawaan
dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Dan pada pasal 36 ayat 2
menyatakan bahwa “ Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya”.
F.
KESIMPULAN
Bahwa seperti yang telah diuraikan atau dijelaskan pada pembahasan
diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Dalam
perceraian akibat yang ditimbulkan pada anak otomatis menyebabkan anak kurang
memperoleh kasih sayang yang utuh. Orang tua walaupun hidup terpisah karena
perceraian tetap memberikan yang terbaik untuk anak yaitu memberikan
pendidikan, memelihara, mendidik, dan mensejahterakan anak sampai anak tersebut
dewasa dan mampu melakukan perbuatan dengan sendirinya. Orang tua tetap
bertanggung jawab terhadap hal tersebut terutama bapak yang harus memberi
nafkah untuk anak tersebut, seperti yang tercantum dalam pasal 41 UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 105, 106 Kompilasi Hukum Islam.
2.
Sedangkan
akibat perceraian terhadap harta kekayaan
Jika memang dalam pernikahan ada harta bawaan dan harta bersama
maka hal tersebut memiliki fungsi masing-masing yang tidak dapat diganggu gugat
seperti yang tertauan pada pasal 35 dan 36 UU Nomor 1 Tahun 1974.
G. DAFTAR PUSTAKA
Kie, Tan Thong. 2007. Studi Notariat & Serba Serbi
Praktek Notaris. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
HS, Salim. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW).
Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Tan
Thong Kie, Studi Notariat & Serba Serbi Praktek Notaris,( Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hal. 16.
[2] Tan
Thong Kie, Ibid., hal. 18.
[3] Salim
HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika,
2001), hal. 78.
[4] Tan
Thong Kie, Op.cit., hal. 18.
[5] Salim
HS, Op.cit., hal. 76.
[6] Salim
HS, Ibid., hal. 77.
0 comments:
Post a Comment