MAKALAH
TAFSIR
AHKAM MUAMALAH
“RIBA”
Dosen
Pembimbing :
Dony Burhan Nur Hasan, Lc., M.A
Disusun
Oleh :
Dery
Ariswanto (130711100086)
Zainur Hasan (1307111000 )
Yahya Nur Syifa (130711100067)
Imroniatul Maulidah (110711100012)
HUKUM
BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS
ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO MADURA
2104
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat
Allah SWT. Yang telah memberika taufik, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami
mampu menyelesaikan makalah kami yang
membahas tentang
“Tafsiran Ayat-ayar Riba”. Makalah
ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ahkam
Muamalah.
Kami
menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam tulisan makalah, kami
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah kami.
Yang
terakhir, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca.
Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Bangkalan, 28 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar.................................................................................. i
Daftar
isi ............................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang…………………………………………………… 01
B.
Rumusan Masalah………………………………………………... 02
C.
Tujuan Penulisan………………………………………………… 02
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Larangan dan Bentuk Transaksi
Riba...............................................
03
B.
Ancaman bagi Pelaku Riba............................................................... 11
C.
Asbab An-Nuzul Ayat
Riba.............................................................. 19
D.
Munasabah Ayat
Riba...................................................................... 21
E.
Kandungan
Hukum........................................................................... 22
F.
Hikmah Pelarangan
Riba.................................................................. 26
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
......................................................................................... 28
B.
Saran................................................................................................ 28
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam
dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan penggalian dan
pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an. Kemampuan tertentu guna menghasilakan
pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan manusai, termasuk
dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Qur’an pada dasarnya mempunyai
peluang yang sama dengan pengembangan ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan
Islam. sayang, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi Qur’an belum
berkembang pesat. padahal kebutuhan terhadap ilmu ini dirasakan sudah mendesak,
sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern dalam merealisasikan pembangunan dan
kemaslahatan masyarakat.
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba
sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi
hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah
walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba
yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai
pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang
lain. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus
melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun
ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba.
Sebagai metodologi atau rumusan dalam makalah ini, penulis ingin
sedikit menyampaikan agar dalam penulisannya lebih baik dari sebelumnya untuk
lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya, maka ada beberapa hal yang
dipaparkan dalam makalah ini yakni: Ayat dan artinya, Mufrodat ayat, Asbabul
Nuzul, Tafsir pedapat para ulama’ Tafsir, Kandungan Hukum dalam Ayat, Hikmah
ayat dan Kesimpulan terhadap Ayat Riba. Inilah yang nantinya penulis ingin
uraikan saru persatu demi untuk melatih pemahaman kita tentang ayat-ayat
tentang Ekonomi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil
rumusan masalahnya, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tafsiran dan makna yang terkandung dalam
surah Ali Imran ayat 130?
2. Bagaimanakah tafsiran dan makna yang terkandung dalam
surah Al-Baqarah ayat 275-280?
3. Bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap Riba?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil
rumusan masalahnya, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tafsiran dan makna yang terkandung
dalam surah Ali Imran ayat 130.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah tafsiran dan makna yang
terkandung dalam surah Al-Baqarah ayat 275-280.
3. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan Al-Qur’an
terhadap Riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Larangan Dan Bentuk
Transaksi Riba
1.
Surah Ali ‘Imran(3)
ayat 130:
ياَ يُّهاَ
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْالرِّبَوا
اَضَعَاَفاًمُّضَعَفَةً*وَّاتَقُوااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya:“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
a.
Mufrodat ayat
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di
atas terdapat kata-kata diantaranya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai orang-orang yang beriman
|
اللَّهَ
|
kepada Allah
|
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
|
janganlah kamu memakan riba
|
لَعَلَّكُمْ
|
supaya kamu
|
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
|
dengan berlipat
|
تُفْلِحُونَ
|
mendapat keberuntungan
|
وَاتَّقُوا
|
dan bertakwalah kamu
|
Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا itu terdapat munada di dalamnya yakni lafadz أيyang digunakan untuk
munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa
lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik
diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf لَا nahi yang mempunyai arti larangan pada lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua
memakan harta riba dengan berlipat ganda.
b.
Makna dan tafsiran
ayat
Kata
la ta’kulu merupakan fi’il
nahi (larangan) dalam bentuk jamak. Secara harfiah, kata itu berarti “janganlah
kamu memakan”. Akan tetapi, ta’kulu dalam ayat ini berarti ta’khuzu
(mengambil). Maka, la ta’kulu berarti “janganlah kamu mengambil”. Dengan
demikian, larangan dalam ayat ini tidak terfokus pada memakan riba tetapi juga
bermakna mengambil harta riba atau melakukan transaksi riba, baik untuk dimakan
atau tidak. Secara istilah riba itu berarti pemberian sesuatu kepada seseorang
agar orang itu mengganti dengan sesuatu yang lebih banyak dari apa yang
diberikannya. Al –Isfihanti menjelaskan pula bahwa riba adalah tambahan dari
pokok atau modal (ra’s al-mal). Akan tetapi dalam istilah syara’ riba itu
dikhususkan pada suatu segi tidak, tidak segi yang lain. Maksudnya, tidak semua
tambahan dalam transaksi jual beli itu riba secara syar’i, seperti tambahan
dalam pertukaran barang selain emas, perak, uang dan makanan. Demikian juga
tambahan yang merupakan hadiah dari orang yang berutang, yaitu sebelumnya tidak
ada persyaratan dan perjanjian apa-apa. اَضَعَاَفاًمُّضَعَفَةً
Secara bahasa, kata ini dapat diartikan kepada “berlipat ganda.” Maksudnya
adalah bertambahnya harta karena diperpanjangnya jatuh tempo.
c.
Asbab An-Nuzul
Tentang sebab
turunnya ayat di atas, Mujtahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan
transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang
berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan
kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah.
Buktinya jika bank
memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula
bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika
orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang
harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah
hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan
riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit
pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo.
Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang
tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan
penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada
orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan
karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama
sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada
masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah
Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali,
tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang
sedikit.
d.
Syarah ayat
Ayat ini turun melarang praktik perekonomian di
zaman jahiliah, yaitu melipat gandakan bunga pinjaman seseorang. Apabila ada
seseorang mempunyai piutang pada orang lain dan masa tangguhnya telah habis,
padahal yang berutang belum sanggup membayarnya, maka orang yang mempunyai
piutang menambah masa tempo dengan syarat yang berutng harus menambah bunganya.
Kerjasama bisnis seperti ini dilarang dalam Islam. Ia disebut dengan istilah
riba nasi’ah. Sistem riba ini merupakan penjajahan ekonomi oleh orang kaya
terhadap orang-orang yang tidak mampu, sehingga jika hal ini dibiarkan terus
berlangsung maka orang-orang miskin sulit bangkit dari kemiskinannya. Karena
itu, Islam melarang umatnya melakukan transaksi riba. Ayat 130 Surah Ali ‘Imran
(3) diatas ditutup dengan ungkapan لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mendapatkan keberuntungan dan
kebahagiaan haruslah bertakwa kepadaNya dengan menghapuskan sistem riba. Atau
dengan kata lain, sistem riba itu bertentangan dengan kemenangan dan
kebahagiaan. Riba itu hanya terjadi pada makanan, uang, emas, dan perak. Riba
tidak terjadi pada transaksi selain empat hal tersebut, karena empat hal itulah
yang menjadi ‘illat haramnya riba. Nabi bersabda:
Diterima dari Ubadah bin Shamit,
dia berkata, Rasullulah bersabda SAW bersabda: “Emas denga emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, tamar dengan tamar, garam
dengan garam (haruslah) sama banyak dan timbang terima. Apabila jenisnya
berbeda, maka juallah sesuai kehendakmu dengan syarat haruslah timbang terima.”
Para
ulama membagi riba kepada dua macam. Pertama riba fadhal, yaitu menjual uang
dengan uang, makanan dengan makanan yang sama jenisnya, yakni satu di antara
kedua belah pihak yang melakukan transaksi melebihkan bayarannya kepada yang
lain.
Mengenai
ini Nabi bersabda:
Janganlah kamu jual emas dengan
emas kecuali sama banyak, dan janganlah kamu melebihkan sebagiannya atas
sebagian yang lain. Dan janganlah kamujual perak dengan perak kecuali sama
banyak, dan janganlah kamu melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dan
janganlah kamu menjual darinya (emas atau perak) yang tidak adadi hadapanmu
dengan yang ada di hadapanmu.
Dan
kedua riba an-nasi’ah, yaitu bunga
yang diterima orang berpiutang dari orang yang berutang sebagai imbalan atas
penangguhan bayaran yang disyaratkan sebelumnya. Riba nasi’ah tergambar dalam
ayat 130 Surah Ali ‘Imran (3) di atas sebagaimana juga terlihat dalam sabab
an-nuzul ayat tersebut. Isi kandungan ayat itu mengajarkan,’ambillah uang
sejumlah yang dipinjamkan, jangan meminta bunganya walaupun jatuh tempo
diperpanjang.” Kedua jenis riba itu diharamkan. Untuk menghindarkan agar
transaksi riba tidak terjadi, maka ketentuan berikut perlu menjadi perhatian:
1) Jika
benda yang diperjualbelikan (dipertukarkan) itu sejenis, seperti menukar beras
dengan beras, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu sama ukurannya
dengan timbang terima.
2)
Jika
benda yang diperjual-belikan itu tidak sejenis, seperti menukarkan beras dengan
garam, maka transaksi itu haruslah timbang terima dan tidak disyaratkan sama
ukurannya.
e.
Penjelasan Tafsiran
ayat
Ayat ini
menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa
dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa
jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di
dapatkan juga akan turut berkurang.
Ada juga pakar
tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa
mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal
tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan
harta riba dan khianat terhadap amanat.
Ayat di mulai
dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba.
Dimulainya demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang
yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari
praktek riba.
Riba atau kelebihan
yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam
mudlo’afah,yakni berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah .
Jika seseorang tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan
penangguhan pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika
membayar utangnya-dia membayar nya
dengan ganda atau berlipat ganda.
Kata kunci
Al-qur’an yang dikembangkan untuk menerangkan riba oleh para ulama’ adalah
lakum ru’us amwalikum( hukum adalah menerima sejumlah modal yang kamu
pinjamkan), dari situ kemudian difahami bahwa pemberian pinjaman hanya berhak
menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman itu
dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah riba.
Dalam tafsir
Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas ,
beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an
karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang
disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi
yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh. Penindasan dalam
bidang ekonomi dapat lebih besar daripada
penindasan dalam bidang fisik.
Tidak heran jika
sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir , orang-orang yang
melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan walau dia mengcapkan
kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng
kafir yang terancam kekal di neraka. Kemudian Allah ta’ala berfirman,
‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara
tidak memakannya.
Al Falah/
keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang di inginkan
dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam
pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga
adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Di antara bukti
bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah
seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut
ini.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ
بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌقَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ
فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ
تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا
عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَحَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى
أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ
حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ
غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِفَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ
صَلَاةً
Dari Abu Hurairah,
sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah.
Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika
perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”,
jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di
Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk
ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia
memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin
yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata,
“Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau
berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi
terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu
memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud
apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya.
Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas
meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu
kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani
dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri
bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di
dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum
pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas
mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu
Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah,
beliau lantas bersabda,“Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al
Qosimi, 2/460)
Pada ayat
selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar
tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk
orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap
transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis
kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Abu Bakar al Warraq
mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami
dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi
sesama.”
Ayat di atas juga
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena
sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat
Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Akan tetapi dalam
perkembangan ekonomi , banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia,
dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta
rupiah pada tahun 1995 tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal
tahun1995 dipinjam uang sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun
2000 –secara ekonomi- dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak
yang dirugikan, pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi
perubahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba
jika berdasarkan kategori di atas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian
‘ru’us amwalikum ini tidak relevan
dengan tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara
perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak
dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal
,sekarang ada. Di satu sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi
di sisi lain bank punya fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2
pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba, sehingga
harus dihindari oleh umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga
bank belum tentu disebut riba apabila
tidak ada unsur dzulm di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum
menawarkan rumusan yang baku tentang kriteria dzulm.
Bagaimanpun di masa
lampau riba dengan segala sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya
sederhana., artinya berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai
riba atau tidak.
Sementara
perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam
masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga
kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan
.Oleh karena itu perlunya ada pengkajian
ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an.
Dalam Tafsir di
atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini, penulis simpulkan bahwa:
1)
Yang diperingatkan
dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam
2)
Peringatan untuk
menjahui akan Riba
3)
Takutlah kepada
Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa
dari Allah.
B.
Ancaman Bagi Pelaku Riba dalam Surah Al-Baqarah ayat
275-280
1.
Surah Al-Baqarah ayat 275
الَّذيْنَ
يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوالاَيَقُومُوْنَ اِلاَّ كَماَ يَقُومُوْالَّذِ يْ
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ* ذَلِكَ
بِاَ نَّهُمْ قاَلُوْااِنَّمَاَالبَيْعُ مِسْلُ الرِّبَواوَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}
Artinya:
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan setan lan-taran (tekanan) penyakit gila. Yang
demikan itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat
peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya
dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
a.
Mufrodat ayat
Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 275 terdapat
beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami dalam berbagai disiplin ilmu
yakni:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
|
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
|
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
|
peringatan dari Allah
|
لايَقُومُونَ
|
tidak dapat berdiri
|
فَانْتَهَى
|
Lalu ia berhenti
|
إِلَّاكَمَايَقُومُ
|
melainkan seperti berdirinya
|
فَلَهُ
|
maka baginya adalah
|
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ
|
orang yang kemasukan syaitan
|
مَا سَلَفَ
|
apa yang telah berlalu
|
مِنَالْمَسّ
|
lantaran (tekanan) penyakit gila
|
وَأَمْرُهُ
|
dan urusannya adalah
|
ذَلِكَ
|
Keadaan mereka yang demikian itu
|
إِلَى اللَّهِ
|
kepada Allah
|
بِأَنَّهُمْقَالُوا
|
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)
|
وَمَنْ
|
barang siapa
|
إِنَّمَا الْبَيْعُ
|
sesungguhnya jual-beli itu
|
عَادَ
|
yang kembali lagi
|
مِثْلُ الرِّبَا
|
sama dengan riba
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka adalah
|
وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
|
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
|
أَصْحَابُ النَّارِ
|
penghuni neraka
|
وَحَرَّمَالرِّبَا
|
dan mengharamkan riba
|
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
|
Mereka yang kekal di dalamnya
|
فَمَنْجَاءَهُ
|
Barang siapa yang datang kepadanya
|
b.
Makna dan Tafsiran
ayat
Tatkala Allah menyebutkan tentang
kondisi orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah
dari segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu
Allah menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan
memiliki muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi
balasan menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di
dunia dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka
disiksa di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit
dari kubur mereka hingga Hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk, “melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
Maksudnya, dari kegilaan dan
kerasukan. Itu adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya,
sebagai balasan untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelanca-ngan
mereka dengan berkata,”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”.
Mereka menyatukan -dengan kelancangan mereka- antara apa yang dihalalkan oleh
Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan
hal itu. Allah ta’ala kemudian menawarkan kepada orang-orang
yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya” sebuah penjelasan
yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) ”lalu
terus berhenti (dari mengambil riba)”, dari apa yang mereka lakukan dari
praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ) “maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)” dari
perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ) “dan
urusannya (terserah) kepada Allah”pada masa yang akan datang jika dia masih
terus dalam taubatnya.
Allah tidak akan melalaikan pahala
orang-orang yang berbuat kebajikan. “Orang yang mengulangi (mengambil riba)” setelah
penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan
riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ) “maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”. Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu
berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya,
selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara
sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari
penghalang.
Ayat ini bukan hujjah bagi
Khawarij atau lainnya dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua
nash-nash al-Qur’an maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan
nash-nash yang diriwayat-kan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang
ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal
yang merupakan perkara yang membinasakan yang memasuk-kan ke dalam neraka
apabila ia tidak bertaubat darinya.
إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولُ للَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ بَيْعِ
الذَّهَبِ باِ لذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ باِالْفِضَّةِ
وَالْبَرِّباِالْبَرّوَالشَّعِيْرِباِالشَّعِيْرِوَالتَّمْرِباِالتَّمْرِوَالْمِلْحِ
باِالْمِلْحِ إِلَّ سَوَاءًبِسَوَاءٍعَيْناًبِعَيْنٍ فَمَنْ زَادَ أَوْازْدَادَ
فَقَدْ أَرْبَى
“Bahwasanya
aku telah mendengar Rasulullah SAW. melarang menjual emas dengan emas, perak
dengan perak, tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair,
garam dengan garam, kecuali satu rupa dengan satu rupa, dibayar tunai. Maka
barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, sesungguhnya dia telah melakukan
riba.” (Riwayat Muslim)
Ibnu
Abbas hanya mengharamkan riba jahiliah. Tetapi menurut keterangan, dia telah
rujuk dari fatwanya dan kembali meminta taubat kepada Allah dan mengharamkan
riba fadhal itu. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lebih lanjut keterangan
tentang riba itu diterangkan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab Fikih.
2.
Surah Al-Baqarah ayat 276
يَمْحَقُ
اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
{276}
Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan
bergelimang dosa”.
a.
Mufrodat ayat
Surat Al-Baqoroh ayat 276 terdapat
beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami juga yakni:
يَمْحَقُ اللَّهُ
|
Allah akan menghapus
|
وَاللَّهُ
|
Allah
|
الرِّبَا
|
Riba
|
لَا يُحِبُّ
|
tidak suka
|
وَيُرْبِي
|
dan melipat gandakan
|
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
|
kepada orang-orang kafir lagi pendosa
|
الصَّدَقَاتِ
|
sedekah
|
b.
Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian
Allah SWT. mengabarkan bahwasanya Dia akan memusnahkan hasil usaha
orang-orang yang berpraktek riba dan menyuburkan sedekah orang-orang yang
berinfak. Ini berlawanan dengan apa yang terbersit pada pikiran sebagian besar
orang bahwa berinfak itu akan mengurangi harta dan bahwa riba itu akan
menambahnya. Karena materi rizki dan mendapatkan buah hasilnya adalah dari
Allah ta’ala, dan apa yang ada disisi Allah tidaklah bisa
didapatkan kecuali dengan ketaatan kepadaNya dan melaksanakan perintahNya. Maka
orang yang lancang melakukan praktek riba, Allah akan menghukumnya dengan apa
yang bertentangan dengan tujuannya. Ini telah terbukti dan dapat dilihat dalam
praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dan siapakah yang lebih benar
per-kataannya daripada Allah, (وَاللهُ لاَ يُحِبُّ
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ) ”Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”, yaitu
orang yang kafir terhadap nikmat Allah, mengingkari karunia Rabbnya dan berbuat
dosa dengan selalu melakukan ke-maksiatan. Pemahaman ayat ini adalah bahwa
Allah sangat menyukai orang yang suka bersyukur terhadap nikmat-nikmat,
bertaubat dari segala dosa dan kesalahan, kemudian Allah menyisipkan ayat satu
ini dalam ayat-ayat riba yaitu firmanNya;
(إِنَّ
الَّذِينَ ءَ امَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَ
اتَوُا الزَّكَاة)
Artinya:“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat.”
Adalah untuk menjelaskan bahwa
sebesar-besarnya sebab untuk menjauhkan diri dari apa yang diharamkan oleh
Allah dari pendapatan-pendapatan ribawi adalah menyempurnakan keimanan dan
hak-haknya, khususnya menegak-kan shalat dan menunaikan zakat, karena shalat
itu mencegah per-buatan dari yang keji dan mungkar. Dan zakat adalah kebajikan
kepada makhluk yang meniadakan praktek riba yang jelas-jelas merupakan
kezhaliman bagi mereka dan keburukan atas mereka.
3.
Surah Al-Baqarah ayat 278-279
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا
مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok
hartamu; kamu tidak berbuat zalim (merugikan dan tidak (pula) dizalimi
(dirugikan)”.
a.
Mufrodat ayat
Dalam Surat yang kelima dalam urutan
surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279 Lafadz yang terkandung di
dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai orang-orang yang beriman
|
مِنَ اللَّهِ
|
dari Allah
|
اتَّقُوا اللَّهَ
|
bertakwalah kepada Allah
|
وَرَسُولِهِ
|
dan dari rasul Nya
|
وَذَرُوا مَا بَقِيَ
|
dan tinggalkanlah sisa-sisa
|
وَإِنْ تُبْتُمْ
|
dan jika kalian bertobat
|
مِنَ الرِّبَا
|
Riba
|
فَلَكُمْ
|
maka bagi kalian
|
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
|
jika memang kamu orang yang beriman
|
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
|
adalah modal-modal
|
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
|
Jika kamu tidak melakukannya
|
لَا تَظْلِمُونَ
|
kalian tidak berbuat zalim
|
فَأْذَنُوا
|
maka terimalah
|
وَلَا تُظْلَمُونَ
|
dan tidak pula dizalimi
|
بِحَرْبٍ
|
pernyataan perang
|
b.
Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian Allah menghadapkan firmanNya kepada kaum mukminin dan
memerintahkan kepada mereka agar bertakwa kepadaNya dan agar mereka
meninggalkan sisa-sisa muamalah dengan riba yang mereka kerjakan sebelumnya,
dan bahwa bila mereka tidak melakukan hal itu, maka sesungguhnya mereka itu
telah memerangi Allah dan RasulNya. Inilah bukti yang paling jelas yang
diakibatkan oleh kebusukan riba, di mana Allah menjadikan orang yang suka
berpraktek riba menjadi orang yang memerangi Allah dan RasulNya.
Kemudian Allah berfirman, (وَإِن تُبْتُمْ) “Dan jika kamu bertaubat”. Maksudnya,
dari muamalah ribawiyah, (فَلَكُمْ رُءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُون)
“maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya” manusia lain dengan
mengambil riba, (وَلاَ تُظْلَمُونَ) “dan tidak (pula) dianiaya” dengan
tindakan kalian mengurangi pokok harta kalian. Maka siapa pun yang bertaubat
dari riba walaupun muamalah yang telah berlalu adalah miliknya, maka perkaranya
akan diperhatikan (Allah). Namun apabila muamalahnya masih berjalan, wajiblah
ia hanya mengambil pokok hartanya saja. Dan bila ia mengambilnya lebih dari itu
maka ia telah berani melakukan riba. Ayat ini merupakan penjelasan akan hikmah
(diharamkannya riba) dan bahwa riba itu meliputi kezhaliman bagi orang-orang
yang membutuhkan dengan mengambil tambahan dan melipat ganda-kan riba atas
mereka, padahal dia wajib menangguhkan mereka.
4.
Surah Al-Baqarah ayat 280
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Dan jika (orang
yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.
a.
Makna dan Tafsiran ayat
Apabila orang yang berutang belum mampu membayar utangnya, maka orang
yang berpiutang tidak boleh memaksanya. Seharusnya orang yang berpiutang
memperpanjang masa tangguhnya sampai dia mampu membayar. Hal ini merupakan
tindakan atau sikap terpuji yang seharusnya dimiliki oleh orang yang
berpiutang.
5.
Asbab An-Nuzul surat Al-Baqarah 275-280
Atha’ dan Ikrimah berkata, ayat ini turun pada Abbas bin Abdul
Muthallib dan Utsman bin Affan. Kedua orang sahabat ini mempunyai piutang
tamar. Setelah tiba masa panen, orang yang berutang (pemilik kebun tamar)
berkata kepada mereka berdua,”Jika Anda mengambil bagian Anda semuanya, maka
tamar ini tidak akan mencukupi untukku dan keluargaku. Apakah Anda mau menerima
setengahnya, dan saya akan melipatgandakan untuk Anda?” Abbas dan Utsman
menerima usulan itu. Setelah jatuh tempo, kedua orang sahabat tersebut meminta
tambahan yang dijanjikan oleh pemilik kebun. Berita itu sampai kepada Nabi SAW,
dan dia melarangnya serta turunlah ayat berikut:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Al-Kalbi berkata, Bani Amru bin Amir berkata kepada Bani Mughirah,
“Berikanlah kepada kami pokok harta kami dan ambillah tambahannya.” Bani
Mughirah menjawab,” Kami hari ini termasuk keluargaku miskin, berilah kami
tangguh hingga mendapat buah.” Maka Allah menurunkan ayat berikut:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ
إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
C.
Asbab An-Nuzul Ayat Riba
Riba adalah kebiasaan yang
telah membudaya di
kalangan masyarakat Arab jauh
sebelum larangan tentang
ini berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung
bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman
riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam
pengharaman ini menuju kepada keadaan
masyarakat saat itu
yang memang telah terbiasa melakukan
muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan
keuntungan berlipat ganda.[1]
Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba, 1 ayat turun di
kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat lainnya
turun di kota
Madinah yang berati
ayat tersebut adalah madaniyah.
Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي
أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ
تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya
Allah SWT membenci riba
dan perbuatan riba tersebut
tidaklah mendapatkan pahala di
sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang
mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa
peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif.
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : Al Nisa’ Ayat 160-161.
sebagaimana di atas. Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota
Madinah. Ayat ini merupakan
kisah tentang orang-orang
Yahudi. Allah SWT mengharamkan kepada
mereka riba akan
tetapi mereka tetap mengerjakan perbuatan
ini. Pengharaman riba
pada ayat ini
adalah pengharaman secara tersirat
tidak dalam bentuk
qoth’i/tegas, akan tetapi berupa
kisah pelajaran dari
orang-orang Yahudi yang
telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka
mereka tetap melakukannya,[2] hal ini juga dijelaskan
al-Maroghi bahwasanya sebagian nabi-nabi
mereka telah melarang
melakukan perbuatan riba.[3]
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat
ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini
menjelaskan kebiasaan orang Arab saat
itu yang sering mengambil riba
dengan berlipat ganda.
Ayat ini telah
secara jelas mengharamkan
perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat
sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang mengambil
riba dengan berlipat
ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش)
yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Periode terakhir adalah
periode pengharaman mutlak,
yaitu Surat Al Baqarah ayat 278 s/d 279.
Ada beberapa riwayat tentang
riba yang menjadi
sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya :
Riwayat dari Ibnu
Abbas mengatakan bahwa
ayat ini turun kepada
Bani Amru bin
Umair bin Auf
bin Tsaqif. Adalah
Bani Mughirah bin Makhzum
mengambil riba dari
Bani Amru bin
Umair bin Auf bin Tsaqif, selanjutnya
mereka melaporkan hal
tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat
ini untuk mengambil riba. [4]
Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah
bahwasanya ayat ini
diturunkan kepada Abbas bin
Abdul Mutholib dan
Utsman bin Affan.
Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang
dipinjamkan dan Allah
SWT menurunkan ayat
ini kepada mereka, setelah mereka mendengar ayat ini
mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
Berkata Sadi: Ayat
ini diturunkan kepada
Abbas dan Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama
pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan
uang kepada orang-orang
dari Bani Tsaqif.
Ketika Islam datang mereka
memiliki harta berlimpah
yang berasal dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba
pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.
D.
Munasabah Ayat Riba
Pembahasan
pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat secara berkelompok, yaitu
surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan
surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’
menjadikan surat ali Imran ;130 dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai
pijakan .
Ayat-ayat tentang Riba
Ayat-ayat tentang Riba
Surat Ar-Ruum ayat 39
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Surat An-Nisaa’ Ayat 160 dan 161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ
أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(النساء
: 160 ،161 )
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.”
QS.Ali Imran :130
يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130
QS.Al-baqarah:275-280
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَوالَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ
كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ
مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ
وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
E.
Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan
ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah bahwa terdapat
larangan untuk melakukan transaksi riba. Larangan yang paling
jelas dari nash Al-Quran adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
Ayat ini
di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi perintahnya adalah untuk
meninggalkan. Di dalam ushul fiqih larangan
terhadap sesuatu adalah berarti perintah untuk
berhenti mengerjakan sesuatu tersebut. Dalam hal
ini larangan untuk mengerjakan riba berarti
perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah
untuk pengharaman.[5]
Disamping
ayat di atas pengharaman riba juga
terdapat pada ayat yang turun sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Di
dalam Hadits bahkan ada beberapa orang
yang terkait dengan orang yang bertransaksi
riba ini akan mendapat laknat dari Allah SWT, yaitu:
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله
صلى الله عليه وسلم : أكل الربا وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه
مسلم)
Artinya: Dari
Jabir r.a berkata: Rasulullah SAW melaknat
pemakan riba, orang yang mewakili riba,
penulis riba, dan 2 orang yang menjadi saksi dari
transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama.[6]
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika dilakukan
dengan berlipat ganda sebagaimana ayat di
atas yang menyebutkan larangan untuk tidak
memakan riba dengan berlipat ganda.
Menjawab hal tersebut
bahwa sesungguhnya lafadz أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً adalah bukan
menunjukkan bahwa larangan ini berlaku hanya kepada riba yang
diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi ayat ini
hanya menggambarkan bahwa keadaan ketika ayat
tersebut diturunkan bahwa masyarakat Arab
ketika itu benar-benar melakukan perbuatan
tercela dengan mengambil riba yang berlipat
ganda. Turunnya ayat ini adalah fase
ketika dari turunnya larangan riba yang
secara bertahap. Artinya larangan sampai
fase yang ketiga ini hanya bersifat
larangan terbatas (juz’i), akan tetapi
selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara jelas
disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba
adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil
keuntungan dengan riba itu yang berlipat
ganda maupun yang tidak berlipat ganda.
Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit
maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar
yang merupakan salah satu budaya dari
masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat
Arab yang sangat kuat, oleh karena itu Allah
SWT dalam pengharaman riba menurunkannya secara
bertahap sama seperti pengharaman khomar yang juga
bertahap.
Ada satu
kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu :
اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء
واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون النساء
Artinya:
Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika
berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi
tetap haram riba nasiah.[7]
Dalam
kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang sama haram untuk
berbeda, antara gandum dengan gandum haram
untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda.
Selanjutnya,
apakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli?
Berdasarkan kaedah ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan
ulama, yaitu:
1) Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan
menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal
ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di dalamnya.
النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى
المعاملات
2) Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah tidak akan
menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli
tidak batal tetapi jual beli tersebut
sah, hanya saja hukum akadnya menjadi makruh.
النهى لا يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى
المعاملات
Di dalam
perkembangannya bahwa riba terdapat dalam banyak bentuk. Salah
satu bentuk riba adalah bunga bank.
Mengapa bunga bank haram? Karena terdapat
unsur riba jahiliyah di dalamnya. Pengertian riba
sangat dikenal dekat di masyarakat Arab sebagai riba
nasi’ah. Biasanya orang
yang memberi hutang
ketika jatuh tempo/waktu pembayaran
akan mengatakan kepada orang
yang berhutang تقضي او تربيartinya hendak engkau lunasi hutangmu
atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah berlipat bunga hutang
tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang telah dihitung,
ketika jatuh tempo dan belum dibayar
maka secara otomatis denda akan dikenakan yang akan semakin
menambah hutang nasabah.
Riba
nasi’ah pada dasarnya adalah riba tempo,
yaitu ketika seseorang berhutang dalam waktu berjangka yang telah
ditetapkan maka ia dikenakan tambahan berdasarkan
persentase bunga dari sisa pokok hutangnya.
Selanjutnya
banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah ulangan yang ditanyakan orang-orang
jahiliyah dahulu yang menyebutkan bahwa riba adalah
sama atau identik dengan jual beli. Bahkan
banyak juga pertanyaan-pertanyaan kritis bahwa
bank Islam atau Bank Syariah tidak
lebih hanya sama dengan
bank-bank konvensional. Untuk menjawab hal ini
penulis mengutip pendapat Prof. A. Mannan yang
menyebutkan beberapa perbedaan antara perdagangan/jual beli
bebas bunga dan jual beli berbunga :
1) Pengambilan resikolah yang membedakan
antara jual beli dan bunga. Bagi
perdagangan normal resiko
adalah dasar yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga
tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2) Bila modal yang diinvestasikan dalam perdagangan menghasilkan laba,
ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan efesiensi, yang tidak terdapat pada
bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3) Perdagangan adalah produktif dan
akan mendapatkan manfaat sesudah bekerja, mengalami kesulitan
dan berketerampilan, maka seseorang membuka lapangan
kerja dan pertumbuhan ekonomi. Adapun bunga
terbukti hanya meningkatkan krisis dan riskan
terhadap resiko gejolak moneter.
4) Perdagangan salah satu faktor dominan
dalam proses pembangunan
peradaban, sedangkan bunga menciptakan kelemahan, dengan mementingkan
keuntungan diri sendiri.[8]
F.
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi
melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun
perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan
oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya
tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta
orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat
besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta
manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah).
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti
haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan
bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan
beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan
mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak
mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat.
Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus
persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan
pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima,
dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara
sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan,
maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya
satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan
orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan
diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan
belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari
segi ethik)
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam
adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti
memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang
lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang
memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial). Ini semua dapat
diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi
kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu
kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana
akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas
lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan
akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta
membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah
pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik,
hukum dan keamanan nasional dan internasional
5. Islam mengajak umat ini agar memberi
utang kepada saudaranya secara baik (qardhul hasan) dengan tidak meminta bunga,
tetapi dengan mengharapkan pahala yang besar dari Allah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riba secara bahasa bermakna: Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain
secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum
terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan,
baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau
bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di atas bahwa penulis sedikit
menyimpulkan bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara bertahab-tahab
mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang akhirnya diharakkan-Nya.
Maka kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah harus berusaha menjahui
riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu yang tidak riba.
B. Saran
Selama proses penulisan makalah ini, penulis melakukan perenungan dalam
pembuatan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca
untuk lebih memahami tentang tafsir dalam Muamalah.
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan
yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh
karena itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang
nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.Wallauhua’lam
DAFTAR
PUSTAKA
Antoni, Muhammad Syafi’I. 2009. Bank Syariah
Dari Teori ke Praktik. Depok: Gema Insani. (diambil dari Buku
Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its
contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah
Saeed.)
Bik, Muhammad Hudri. 1988. UshuL Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.
Depardemen Agama RI. Al Qur’an Dan
Terjemahannya.
Ibnu Hajar. 2000. Bulugh al-Maram. Semarang:
Toha Putra.
Mannan. 1992. Ekonomi Islam:
Teori dan Praktek.
Alih bahasa: Potan
Arif Harahap. Jakarta: PT Intermasa.
Maroghi-Al, Ahmad Musthofa. TT. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2.
Juz. 6. Beirut: Dar al- Fikr.
Nisabury-An. Asbab an-Nuzul. Beirut: Dar
al-Fikr.
Shihab, Quraish. 2005. Wawasan
Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: MIZAN.
Shobuni-Ash, Muhammad Ali. TT. Tafsir Ayat
Ahkam. Jilid.1. Beirut: Dar al-Fikr.
Katsir, Ibnu. TT. Al-Quran
al-Azhim. Jilid. 1. Beirut: Dar al-Fikr.
Katsir, Ibnu. 2005. Terjemah Singkat
Tafsir jilid 1 dan 2. Terj. Salim. Surabaya: Bina Ilmu.
[1]
Muhammad Ali
as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.39
[2]
Ibid., hlm. 39
[3]
Ahmad Musthofa
al-Maroghi. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar
al- Fikr) hal. 18
[4]An-Nisabury. Asbab
an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59
[5]
Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199.
[6]
Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram. (Semarang: Toha Putra) hal.169.
[7]
Muhammad Ali as-Shobuni. hal. 392.
[8]
M.A Mannan. Ekonomi
Islam: Teori dan
Praktek. Alih bahasa:
Potan Arif Harahap ( Jakarta: PT
Intermasa. 1992) hal. 295-296.
0 comments:
Post a Comment