YANG TERBAIK UNTUKMU PASTI UNTUKMU

Saturday, March 19, 2016

MAKALAH RIBA (Tafsir Ahkam Muamalah)



MAKALAH
TAFSIR AHKAM MUAMALAH
RIBA



Dosen Pembimbing :
Dony Burhan Nur Hasan, Lc., M.A

Disusun Oleh :
Dery Ariswanto                     (130711100086)
Zainur Hasan                        (1307111000    )
Yahya Nur Syifa                   (130711100067)
Imroniatul Maulidah            (110711100012)

HUKUM BISNIS SYARI’AH
FAKULTAS ILMU-ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2104
 

KATA PENGANTAR
     Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberika taufik, rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah kami yang membahas tentang  Tafsiran Ayat-ayar Riba”. Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Tafsir Ahkam Muamalah.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam tulisan makalah, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami.
Yang terakhir, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca. Aamiin.
  Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Bangkalan, 28 Oktober 2014

Penulis







DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................                          i
Daftar isi ...............................................................................................                     ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang……………………………………………………               01
B.     Rumusan Masalah………………………………………………...               02
C.     Tujuan Penulisan…………………………………………………                02
BAB II PEMBAHASAN
A.    Larangan dan Bentuk Transaksi Riba...............................................             03
B.     Ancaman bagi Pelaku Riba...............................................................              11
C.     Asbab An-Nuzul Ayat Riba..............................................................              19
D.    Munasabah Ayat Riba......................................................................               21
E.     Kandungan Hukum...........................................................................              22
F.      Hikmah Pelarangan Riba..................................................................              26
BAB III PENUTUP
A.    Simpulan .........................................................................................               28
B.     Saran................................................................................................               28
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an. Kemampuan tertentu guna menghasilakan pemahaman yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan manusai, termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Qur’an pada dasarnya mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. sayang, sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu ekonomi Qur’an belum berkembang pesat. padahal kebutuhan terhadap ilmu ini dirasakan sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern dalam merealisasikan pembangunan dan kemaslahatan masyarakat.
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang  di Makkah walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Larangan riba yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah riba.
Sebagai metodologi atau rumusan dalam makalah ini, penulis ingin sedikit menyampaikan agar dalam penulisannya lebih baik dari sebelumnya untuk lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya, maka ada beberapa hal yang dipaparkan dalam makalah ini yakni: Ayat dan artinya, Mufrodat ayat, Asbabul Nuzul, Tafsir pedapat para ulama’ Tafsir, Kandungan Hukum dalam Ayat, Hikmah ayat dan Kesimpulan terhadap Ayat Riba. Inilah yang nantinya penulis ingin uraikan saru persatu demi untuk melatih pemahaman kita tentang ayat-ayat tentang Ekonomi.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah tafsiran dan makna yang terkandung dalam surah Ali Imran ayat 130?
2.    Bagaimanakah tafsiran dan makna yang terkandung dalam surah Al-Baqarah ayat 275-280?
3.    Bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap Riba?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tafsiran dan makna yang terkandung dalam surah Ali Imran ayat 130.
2.      Untuk mengetahui bagaimanakah tafsiran dan makna yang terkandung dalam surah Al-Baqarah ayat 275-280.
3.    Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan Al-Qur’an terhadap Riba.















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Larangan Dan Bentuk Transaksi Riba
1.    Surah Ali ‘Imran(3) ayat 130:

ياَ يُّهاَ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْالرِّبَوا اَضَعَاَفاًمُّضَعَفَةً*وَّاتَقُوااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
a.    Mufrodat ayat
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di atas terdapat kata-kata diantaranya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang beriman
اللَّهَ
kepada Allah
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
janganlah kamu memakan riba
لَعَلَّكُمْ
supaya kamu
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
dengan berlipat
 تُفْلِحُونَ
mendapat keberuntungan
وَاتَّقُوا
dan bertakwalah kamu

Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا itu terdapat munada di dalamnya yakni lafadz أيyang digunakan untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya terdapat huruf لَا nahi yang mempunyai arti larangan pada lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba dengan berlipat ganda.
b.   Makna dan tafsiran ayat
          Kata la ta’kulu merupakan fi’il nahi (larangan) dalam bentuk jamak. Secara harfiah, kata itu berarti “janganlah kamu memakan”. Akan tetapi, ta’kulu dalam ayat ini berarti ta’khuzu (mengambil). Maka, la ta’kulu berarti “janganlah kamu mengambil”. Dengan demikian, larangan dalam ayat ini tidak terfokus pada memakan riba tetapi juga bermakna mengambil harta riba atau melakukan transaksi riba, baik untuk dimakan atau tidak. Secara istilah riba itu berarti pemberian sesuatu kepada seseorang agar orang itu mengganti dengan sesuatu yang lebih banyak dari apa yang diberikannya. Al –Isfihanti menjelaskan pula bahwa riba adalah tambahan dari pokok atau modal (ra’s al-mal). Akan tetapi dalam istilah syara’ riba itu dikhususkan pada suatu segi tidak, tidak segi yang lain. Maksudnya, tidak semua tambahan dalam transaksi jual beli itu riba secara syar’i, seperti tambahan dalam pertukaran barang selain emas, perak, uang dan makanan. Demikian juga tambahan yang merupakan hadiah dari orang yang berutang, yaitu sebelumnya tidak ada persyaratan dan perjanjian apa-apa. اَضَعَاَفاًمُّضَعَفَةً Secara bahasa, kata ini dapat diartikan kepada “berlipat ganda.” Maksudnya adalah bertambahnya harta karena diperpanjangnya jatuh tempo.
c.    Asbab An-Nuzul
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujtahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit.
d.   Syarah ayat
Ayat ini turun melarang praktik perekonomian di zaman jahiliah, yaitu melipat gandakan bunga pinjaman seseorang. Apabila ada seseorang mempunyai piutang pada orang lain dan masa tangguhnya telah habis, padahal yang berutang belum sanggup membayarnya, maka orang yang mempunyai piutang menambah masa tempo dengan syarat yang berutng harus menambah bunganya. Kerjasama bisnis seperti ini dilarang dalam Islam. Ia disebut dengan istilah riba nasi’ah. Sistem riba ini merupakan penjajahan ekonomi oleh orang kaya terhadap orang-orang yang tidak mampu, sehingga jika hal ini dibiarkan terus berlangsung maka orang-orang miskin sulit bangkit dari kemiskinannya. Karena itu, Islam melarang umatnya melakukan transaksi riba. Ayat 130 Surah Ali ‘Imran (3) diatas ditutup dengan ungkapan لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan haruslah bertakwa kepadaNya dengan menghapuskan sistem riba. Atau dengan kata lain, sistem riba itu bertentangan dengan kemenangan dan kebahagiaan. Riba itu hanya terjadi pada makanan, uang, emas, dan perak. Riba tidak terjadi pada transaksi selain empat hal tersebut, karena empat hal itulah yang menjadi ‘illat haramnya riba. Nabi bersabda:
Diterima dari Ubadah bin Shamit, dia berkata, Rasullulah bersabda SAW bersabda: “Emas denga emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, tamar dengan tamar, garam dengan garam (haruslah) sama banyak dan timbang terima. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai kehendakmu dengan syarat haruslah timbang terima.”
Para ulama membagi riba kepada dua macam. Pertama riba fadhal, yaitu menjual uang dengan uang, makanan dengan makanan yang sama jenisnya, yakni satu di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi melebihkan bayarannya kepada yang lain.
Mengenai ini Nabi bersabda:
Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali sama banyak, dan janganlah kamu melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dan janganlah kamujual perak dengan perak kecuali sama banyak, dan janganlah kamu melebihkan sebagiannya atas sebagian yang lain. Dan janganlah kamu menjual darinya (emas atau perak) yang tidak adadi hadapanmu dengan yang ada di hadapanmu.
Dan kedua riba an-nasi’ah, yaitu bunga yang diterima orang berpiutang dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan bayaran yang disyaratkan sebelumnya. Riba nasi’ah tergambar dalam ayat 130 Surah Ali ‘Imran (3) di atas sebagaimana juga terlihat dalam sabab an-nuzul ayat tersebut. Isi kandungan ayat itu mengajarkan,’ambillah uang sejumlah yang dipinjamkan, jangan meminta bunganya walaupun jatuh tempo diperpanjang.” Kedua jenis riba itu diharamkan. Untuk menghindarkan agar transaksi riba tidak terjadi, maka ketentuan berikut perlu menjadi perhatian:
1)   Jika benda yang diperjualbelikan (dipertukarkan) itu sejenis, seperti menukar beras dengan beras, maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu sama ukurannya dengan timbang terima.
2)   Jika benda yang diperjual-belikan itu tidak sejenis, seperti menukarkan beras dengan garam, maka transaksi itu haruslah timbang terima dan tidak disyaratkan sama ukurannya.
e.    Penjelasan Tafsiran ayat
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba. Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.
Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.
Ayat di mulai dengan panggilan kepada orang-orang yang beriman disusul dengan larangan riba. Dimulainya demikian memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang terlarang oleh ayat tersebut adalah yang sifatnya adh’afam mudlo’afah,yakni berlipat ganda, sebagaimana kebiasaan masyarakat jahiliyyah . Jika seseorang tidak mapu membayar hutang , dia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran , dan sebagai imbalan penangguhan itu-ketika membayar  utangnya-dia membayar nya dengan ganda atau berlipat ganda.
Kata kunci Al-qur’an yang dikembangkan untuk menerangkan riba oleh para ulama’ adalah lakum ru’us amwalikum( hukum adalah menerima sejumlah modal yang kamu pinjamkan), dari situ kemudian difahami bahwa pemberian pinjaman hanya berhak menerima pelunasan sejumlah pinjaman, dan kelebihan atas jumlah pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu tanpa iwad( imbalan ) adalah riba.
Dalam tafsir Al-Kasyf disebutkan bahwa imam abu hanifah, apabila membaca ayat 130 di atas , beliau berkata :” Inilah ayat-ayat yang paling menakutkan dalam Al-qur’an karena Allah mengancam orang-orang yang beriman terjerumus dalam neraka yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir. Memang riba adalah kejahatan ekonomi yang terbesar .Ia adalah penindasan terhadap orang yang butuh. Penindasan dalam bidang ekonomi dapat lebih besar daripada  penindasan dalam bidang fisik.
Tidak heran jika sebagian ulama’-seperti Muhammad Abduh – yang menilai kafir , orang-orang yang melakukan praktik riba- walaupun mengakui keharamannya dan walau dia mengcapkan kalimat syahadat dan secara formal melakukan sholat-adalah serupa orang-oranng kafir yang terancam kekal di neraka. Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/ keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang di inginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌقَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَحَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِفَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.”
Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).
Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”
Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda,“Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)
Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.
Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”
Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ‘sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Akan tetapi dalam perkembangan ekonomi , banyak muncul berbagai fenomena. Misalnya di Indonesia, dari tahun ke tahun nilai tukar rupiah mengalami perubahan . Uang satu juta rupiah pada tahun 1995 tidaklah sama dengan tahun berikutnya, Jika pada awal tahun1995 dipinjam uang sebesar satu juta dan kemudian dikermbalikan pada tahun 2000 –secara ekonomi- dirugikan.Dalam kondisi seperti ini, agar tidak ada pihak yang dirugikan, pengembalian hutang harus disertai tambahan untuk kompensasi perubahan nilai tukar rupiah. Akan tetapi langkah ini pasti akan dikatakan riba jika berdasarkan kategori di atas. Fenomena ini menggambarkan pengembalian ‘ru’us amwalikum  ini tidak relevan dengan tidak adanya dzulm sebagaiman terdapat dalam surat Al-baqarah:279.
Sementara perkembangan ekonomi dari masa ke masa mengalami perkembangan , yang dulu tidak dikenal,sekarang ada. Dulu lembaga permodalan seperti bunga bank tidak dikenal ,sekarang ada. Di satu sisi,bunga bank terperangkap dalam praktek riba, tetapi di sisi lain bank punya fungsi sosisl yang besar. Mengenai hal ini ada 2 pendapat. Pendapat pertama, mengatakan bahwa bunga bank sama dengan riba, sehingga harus dihindari oleh umat islam. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank belum tentu disebut riba  apabila tidak ada unsur dzulm di dalamnya. Sekalipun demikian sebenarnya kita belum menawarkan rumusan yang baku tentang kriteria dzulm.
Bagaimanpun di masa lampau riba dengan segala sifat dampaknya sudah difahami, kendati pengertiannya sederhana., artinya berbagai kegiatan ekonomi sudah dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak.
Sementara perkembangan ekonomi terus melaju sehingga membentuk perspektif tertentu dalam masyarakat menyangkut penilaian terhadap tentang kegiatan ekonomi ,sehingga kegiatan ekonomi tertentu dewasa ini justru dipandang baik, bahkan dibutuhkan .Oleh karena itu  perlunya ada pengkajian ulang tentang karakter riba yang terkandung dalam Al-qur’an.
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini, penulis simpulkan bahwa:
1)   Yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam
2)   Peringatan untuk menjahui akan Riba
3)   Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.

B.     Ancaman Bagi Pelaku Riba dalam Surah Al-Baqarah ayat 275-280
1.    Surah Al-Baqarah ayat 275

الَّذيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَوالاَيَقُومُوْنَ اِلاَّ كَماَ يَقُومُوْالَّذِ يْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَنُ مِنَ المَسِّ* ذَلِكَ  بِاَ نَّهُمْ قاَلُوْااِنَّمَاَالبَيْعُ مِسْلُ الرِّبَواوَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّباَ فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275}

            Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lan-taran (tekanan) penyakit gila. Yang demikan itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
a.    Mufrodat ayat
Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 275 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami dalam berbagai disiplin ilmu yakni:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
Orang-orang yang makan/ mengambil Riba
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
peringatan dari Allah
لايَقُومُونَ
tidak dapat berdiri
فَانْتَهَى
Lalu ia berhenti 
إِلَّاكَمَايَقُومُ
melainkan seperti berdirinya
فَلَهُ
maka  baginya  adalah 
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ 
orang yang kemasukan syaitan
مَا سَلَفَ
apa  yang telah berlalu 
مِنَالْمَسّ
lantaran (tekanan) penyakit gila
وَأَمْرُهُ
dan urusannya  adalah  
ذَلِكَ
Keadaan mereka yang demikian itu
إِلَى اللَّهِ
kepada Allah
بِأَنَّهُمْقَالُوا
adalah  disebabkan mereka berkata (berpendapat)
وَمَنْ
barang siapa
إِنَّمَا الْبَيْعُ
sesungguhnya jual-beli itu
 عَادَ
yang kembali lagi
مِثْلُ الرِّبَا
sama dengan riba
فَأُولَئِكَ
maka  mereka  adalah
 وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
padahal Allah telah menghalalkan jual-beli
أَصْحَابُ النَّارِ
penghuni  neraka
وَحَرَّمَالرِّبَا 
dan mengharamkan riba
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Mereka yang kekal di dalamnya
فَمَنْجَاءَهُ
Barang siapa yang datang kepadanya

b.      Makna dan Tafsiran ayat
Tatkala Allah menyebutkan tentang kondisi orang-orang yang bersedekah dan apa yang mereka dapatkan disisi Allah dari segala kebaikan dan digugurkannya kesalahan dan dosa-dosa mereka. Lalu Allah menyebutkan tentang orang-orang yang zhalim para pemakan riba dan memiliki muamalah yang licik, dan Allah mengabarkan bahwa mereka akan diberi balasan menurut perbuatan mereka. Untuk itu, sebagaimana mereka saat masih di dunia dalam mencari penghidupan yang keji seperti orang-orang gila, mereka disiksa di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, bahwa mereka tidak akan bangkit dari kubur mereka hingga Hari Kebangkitan dan hari berkumpulnya makhluk, “melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”.
Maksudnya, dari kegilaan dan kerasukan. Itu adalah siksaan, penghinaan dan dipamerkannya segala dosanya, sebagai balasan untuk mereka atas segala bentuk riba mereka dan kelanca-ngan mereka dengan berkata,”sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Mereka menyatukan -dengan kelancangan mereka- antara apa yang dihalalkan oleh Allah dengan apa yang diharamkan olehNya hingga mereka membolehkan riba dengan hal itu. Allah ta’ala kemudian menawarkan kepada orang-orang yang melakukan praktek riba dan selain mereka untuk bertaubat dalam firmanNya, Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya” sebuah penjelasan yang disertai dengan janji dan ancaman, (فَانتَهَى) ”lalu terus berhenti (dari mengambil riba)”, dari apa yang mereka lakukan dari praktek riba, (فَلَهُ مَا سَلَفَ“maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan)” dari perkara yang ia berani terhadapnya, lalu ia bertaubat darinya, (وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ“dan urusannya (terserah) kepada Allah”pada masa yang akan datang jika dia masih terus dalam taubatnya.
Allah tidak akan melalaikan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan. “Orang yang mengulangi (mengambil riba)” setelah penjelasan Allah dan peringatanNya serta ancamanNya terhadap orang yang memakan riba, (فَأُوْلئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ“maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. Dalam ayat ini ada isyarat bahwa riba itu berkonsekuensi masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal itu karena kejelekannya, selama tidak ada yang menghalangi kekekalannya yaitu keimanan. Ini di antara sejumlah hukum-hukum yang tergantung kepada terpenuhinya dan terbebasnya dari penghalang.
Ayat ini bukan hujjah bagi Khawarij atau lainnya dari ayat-ayat ancaman. Yang wajib adalah menyakini semua nash-nash al-Qur’an maupun as-Sunnah, maka seorang mukmin harus percaya dengan nash-nash yang diriwayat-kan secara mutawatir yaitu akan keluarnya orang yang ada dalam hatinya keimanan walaupun seberat biji sawi dari neraka, dan dari hal yang merupakan perkara yang membinasakan yang memasuk-kan ke dalam neraka apabila ia tidak bertaubat darinya.

إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولُ للَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ باِ لذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ باِالْفِضَّةِ وَالْبَرِّباِالْبَرّوَالشَّعِيْرِباِالشَّعِيْرِوَالتَّمْرِباِالتَّمْرِوَالْمِلْحِ باِالْمِلْحِ إِلَّ سَوَاءًبِسَوَاءٍعَيْناًبِعَيْنٍ فَمَنْ زَادَ أَوْازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى
“Bahwasanya aku telah mendengar Rasulullah SAW. melarang menjual emas dengan emas, perak dengan perak, tamar dengan tamar, gandum dengan gandum, syair dengan syair, garam dengan garam, kecuali satu rupa dengan satu rupa, dibayar tunai. Maka barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, sesungguhnya dia telah melakukan riba.” (Riwayat Muslim)
Ibnu Abbas hanya mengharamkan riba jahiliah. Tetapi menurut keterangan, dia telah rujuk dari fatwanya dan kembali meminta taubat kepada Allah dan mengharamkan riba fadhal itu. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lebih lanjut keterangan tentang riba itu diterangkan dengan panjang lebar dalam kitab-kitab Fikih.
2.    Surah Al-Baqarah ayat 276

يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276}

            Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa”.
a.    Mufrodat ayat
Surat Al-Baqoroh ayat 276 terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami juga yakni:
 يَمْحَقُ اللَّهُ
Allah akan menghapus
وَاللَّهُ
Allah
الرِّبَا
Riba
لَا يُحِبُّ
tidak suka
وَيُرْبِي
dan melipat gandakan
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
kepada orang-orang kafir lagi pendosa
الصَّدَقَاتِ
sedekah

b.   Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian Allah SWT. mengabarkan bahwasanya Dia akan memusnahkan hasil usaha orang-orang yang berpraktek riba dan menyuburkan sedekah orang-orang yang berinfak. Ini berlawanan dengan apa yang terbersit pada pikiran sebagian besar orang bahwa berinfak itu akan mengurangi harta dan bahwa riba itu akan menambahnya. Karena materi rizki dan mendapatkan buah hasilnya adalah dari Allah ta’ala, dan apa yang ada disisi Allah tidaklah bisa didapatkan kecuali dengan ketaatan kepadaNya dan melaksanakan perintahNya. Maka orang yang lancang melakukan praktek riba, Allah akan menghukumnya dengan apa yang bertentangan dengan tujuannya. Ini telah terbukti dan dapat dilihat dalam praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dan siapakah yang lebih benar per-kataannya daripada Allah, (وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ) ”Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”, yaitu orang yang kafir terhadap nikmat Allah, mengingkari karunia Rabbnya dan berbuat dosa dengan selalu melakukan ke-maksiatan. Pemahaman ayat ini adalah bahwa Allah sangat menyukai orang yang suka bersyukur terhadap nikmat-nikmat, bertaubat dari segala dosa dan kesalahan, kemudian Allah menyisipkan ayat satu ini dalam ayat-ayat riba yaitu firmanNya;

(إِنَّ الَّذِينَ ءَ امَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَ اتَوُا الزَّكَاة)

Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.”
          Adalah untuk menjelaskan bahwa sebesar-besarnya sebab untuk menjauhkan diri dari apa yang diharamkan oleh Allah dari pendapatan-pendapatan ribawi adalah menyempurnakan keimanan dan hak-haknya, khususnya menegak-kan shalat dan menunaikan zakat, karena shalat itu mencegah per-buatan dari yang keji dan mungkar. Dan zakat adalah kebajikan kepada makhluk yang meniadakan praktek riba yang jelas-jelas merupakan kezhaliman bagi mereka dan keburukan atas mereka.

3.    Surah Al-Baqarah ayat 278-279
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang  beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka kamu berhak atas pokok hartamu; kamu tidak berbuat zalim (merugikan dan tidak (pula) dizalimi (dirugikan)”.
a.    Mufrodat ayat
Dalam Surat yang kelima dalam urutan surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279 Lafadz yang terkandung di dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang yang  beriman
مِنَ اللَّهِ
dari Allah 
اتَّقُوا اللَّهَ
bertakwalah  kepada Allah
وَرَسُولِهِ
dan  dari rasul  Nya 
وَذَرُوا مَا بَقِيَ
dan  tinggalkanlah  sisa-sisa 
وَإِنْ تُبْتُمْ
dan  jika  kalian  bertobat
مِنَ الرِّبَا
Riba
فَلَكُمْ
maka  bagi kalian
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
jika  memang  kamu  orang  yang  beriman
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
adalah modal-modal
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
Jika  kamu  tidak melakukannya
لَا تَظْلِمُونَ
kalian tidak berbuat zalim
فَأْذَنُوا
maka   terimalah 
وَلَا تُظْلَمُونَ
dan tidak  pula  dizalimi
بِحَرْبٍ
pernyataan   perang  

b.   Makna dan Tafsiran ayat
Kemudian Allah menghadapkan firmanNya kepada kaum mukminin dan memerintahkan kepada mereka agar bertakwa kepadaNya dan agar mereka meninggalkan sisa-sisa muamalah dengan riba yang mereka kerjakan sebelumnya, dan bahwa bila mereka tidak melakukan hal itu, maka sesungguhnya mereka itu telah memerangi Allah dan RasulNya. Inilah bukti yang paling jelas yang diakibatkan oleh kebusukan riba, di mana Allah menjadikan orang yang suka berpraktek riba menjadi orang yang memerangi Allah dan RasulNya.
Kemudian Allah berfirman, (وَإِن تُبْتُمْ) “Dan jika kamu bertaubat”. Maksudnya, dari muamalah ribawiyah, (فَلَكُمْ رُءُ وسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُون) “maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya” manusia lain dengan mengambil riba, (وَلاَ تُظْلَمُونَ) “dan tidak (pula) dianiaya” dengan tindakan kalian mengurangi pokok harta kalian. Maka siapa pun yang bertaubat dari riba walaupun muamalah yang telah berlalu adalah miliknya, maka perkaranya akan diperhatikan (Allah). Namun apabila muamalahnya masih berjalan, wajiblah ia hanya mengambil pokok hartanya saja. Dan bila ia mengambilnya lebih dari itu maka ia telah berani melakukan riba. Ayat ini merupakan penjelasan akan hikmah (diharamkannya riba) dan bahwa riba itu meliputi kezhaliman bagi orang-orang yang membutuhkan dengan mengambil tambahan dan melipat ganda-kan riba atas mereka, padahal dia wajib menangguhkan mereka.
4.    Surah Al-Baqarah ayat 280

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 Artinya: Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. 
a.    Makna dan Tafsiran ayat
Apabila orang yang berutang belum mampu membayar utangnya, maka orang yang berpiutang tidak boleh memaksanya. Seharusnya orang yang berpiutang memperpanjang masa tangguhnya sampai dia mampu membayar. Hal ini merupakan tindakan atau sikap terpuji yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berpiutang.

5.    Asbab An-Nuzul surat Al-Baqarah 275-280
Atha’ dan Ikrimah berkata, ayat ini turun pada Abbas bin Abdul Muthallib dan Utsman bin Affan. Kedua orang sahabat ini mempunyai piutang tamar. Setelah tiba masa panen, orang yang berutang (pemilik kebun tamar) berkata kepada mereka berdua,”Jika Anda mengambil bagian Anda semuanya, maka tamar ini tidak akan mencukupi untukku dan keluargaku. Apakah Anda mau menerima setengahnya, dan saya akan melipatgandakan untuk Anda?” Abbas dan Utsman menerima usulan itu. Setelah jatuh tempo, kedua orang sahabat tersebut meminta tambahan yang dijanjikan oleh pemilik kebun. Berita itu sampai kepada Nabi SAW, dan dia melarangnya serta turunlah ayat berikut:
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Al-Kalbi berkata, Bani Amru bin Amir berkata kepada Bani Mughirah, “Berikanlah kepada kami pokok harta kami dan ambillah tambahannya.” Bani Mughirah menjawab,” Kami hari ini termasuk keluargaku miskin, berilah kami tangguh hingga mendapat buah.” Maka Allah menurunkan ayat berikut:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

C.    Asbab An-Nuzul Ayat Riba
Riba adalah  kebiasaan  yang  telah  membudaya  di  kalangan masyarakat  Arab  jauh  sebelum  larangan  tentang  ini  berlaku.  Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini menuju  kepada  keadaan  masyarakat  saat  itu  yang  memang  telah terbiasa  melakukan  muamalah ribawiyah atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.[1]
Secara umum ada 4 periode turunnya ayat tentang riba, 1 ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah makiyah dan 3 ayat  lainnya  turun  di  kota  Madinah  yang  berati  ayat  tersebut  adalah madaniyah.
Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah :
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)

Pada ayat ini  dijelaskan  bahwasanya  Allah  SWT  membenci riba  dan  perbuatan  riba tersebut  tidaklah  mendapatkan  pahala di  sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif.
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat : Al Nisa’ Ayat 160-161. sebagaimana di atas. Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  merupakan  kisah  tentang  orang-orang  Yahudi.  Allah  SWT mengharamkan   kepada   mereka   riba   akan   tetapi   mereka   tetap mengerjakan  perbuatan  ini.  Pengharaman  riba  pada  ayat  ini  adalah pengharaman  secara  tersirat  tidak  dalam  bentuk  qoth’i/tegas,  akan tetapi  berupa  kisah  pelajaran  dari  orang-orang  Yahudi  yang  telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi mereka mereka tetap melakukannya,[2]  hal ini juga dijelaskan al-Maroghi bahwasanya  sebagian  nabi-nabi  mereka  telah  melarang  melakukan perbuatan riba.[3]
Periode ketiga Allah SWT menurunkan Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di Kota Madinah. Ayat  ini  menjelaskan  kebiasaan  orang  Arab  saat  itu  yang  sering mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda.  Ayat  ini  telah  secara  jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang saat itu yang  mengambil  riba  dengan  berlipat  ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش) yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.
Periode  terakhir  adalah  periode  pengharaman  mutlak,  yaitu Surat Al Baqarah ayat 278 s/d 279.
Ada  beberapa riwayat tentang riba  yang  menjadi  sebab-sebab turunnya ayat tentang riba, diantaranya :
Riwayat  dari  Ibnu  Abbas  mengatakan  bahwa  ayat  ini  turun kepada  Bani  Amru  bin  Umair  bin  Auf  bin  Tsaqif.  Adalah  Bani Mughirah  bin  Makhzum  mengambil  riba  dari  Bani  Amru  bin  Umair bin  Auf  bin  Tsaqif,  selanjutnya  mereka  melaporkan  hal  tersebut kepada Rasulullah SAW dan beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba. [4]
Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah  bahwasanya  ayat  ini  diturunkan kepada  Abbas  bin  Abdul  Mutholib  dan  Utsman  bin  Affan.  Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba dari korma yang dipinjamkan  dan  Allah  SWT  menurunkan  ayat  ini  kepada  mereka, setelah mereka mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
Berkata  Sadi:  Ayat  ini  diturunkan  kepada  Abbas  dan  Khalid bin Walid. Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan  uang  kepada  orang-orang  dari  Bani  Tsaqif.  Ketika Islam  datang  mereka  memiliki  harta  berlimpah  yang  berasal  dari usaha riba, maka Allah menurunkan ayat :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul Muthollib”.
D.    Munasabah Ayat Riba
Pembahasan pokok tentang riba disebutkan dalam beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat Ar-rum:39, surat An-Nisa’:160-161, surat ali Imran :130, dan surat Al-baqarah 275-280. Sedangkan mengenai pengertian riba ,para ulama’ menjadikan surat ali Imran ;130 dan surat Al-baqarah :278-279 sebagai pijakan . 
Ayat-ayat tentang Riba
   Surat Ar-Ruum ayat 39
 وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم : 39)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

    Surat An-Nisaa’ Ayat 160 dan 161.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا 
(النساء : 160 ،161 )
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

     QS.Ali Imran :130

                   يآأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَوا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130
     QS.Al-baqarah:275-280

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَوالَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
E.     Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan  ayat-ayat  Al-Quran  dan  Sunnah  bahwa  terdapat larangan untuk melakukan transaksi  riba. Larangan  yang paling  jelas dari nash Al-Quran adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
Ayat ini di dalam uslubnya adalah perintah, tetapi perintahnya adalah  untuk  meninggalkan.  Di  dalam  ushul  fiqih  larangan  terhadap sesuatu  adalah  berarti  perintah  untuk  berhenti  mengerjakan  sesuatu tersebut.  Dalam  hal  ini  larangan  untuk  mengerjakan  riba  berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[5]
Disamping  ayat  di  atas  pengharaman  riba  juga  terdapat  pada ayat yang turun sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Di  dalam  Hadits  bahkan  ada  beberapa  orang  yang  terkait dengan  orang  yang  bertransaksi  riba  ini  akan  mendapat  laknat  dari Allah SWT, yaitu:
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم : أكل الربا وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه مسلم)
Artinya:  Dari  Jabir  r.a  berkata:  Rasulullah  SAW  melaknat pemakan  riba,  orang  yang  mewakili  riba,  penulis  riba,  dan  2  orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama.[6]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika  dilakukan  dengan  berlipat  ganda  sebagaimana  ayat  di  atas  yang menyebutkan  larangan  untuk  tidak  memakan  riba  dengan  berlipat ganda.    Menjawab    hal    tersebut    bahwa    sesungguhnya    lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً  adalah  bukan  menunjukkan  bahwa  larangan  ini berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi  ayat  ini  hanya  menggambarkan  bahwa  keadaan  ketika  ayat tersebut  diturunkan  bahwa  masyarakat  Arab  ketika  itu  benar-benar melakukan  perbuatan  tercela  dengan  mengambil  riba  yang  berlipat ganda.  Turunnya  ayat  ini  adalah  fase  ketika  dari  turunnya  larangan riba  yang  secara  bertahap.  Artinya  larangan  sampai  fase  yang  ketiga ini  hanya  bersifat  larangan  terbatas  (juz’i),  akan  tetapi  selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara  jelas disebutkan  bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil keuntungan  dengan  riba  itu  yang  berlipat  ganda  maupun  yang  tidak berlipat  ganda.  Seperti  pengharaman  khomar,  bahwa  khomar  sedikit maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar  yang  merupakan  salah  satu  budaya  dari  masyarakat  Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat Arab yang sangat  kuat,  oleh  karena  itu  Allah  SWT  dalam  pengharaman  riba menurunkannya  secara  bertahap  sama  seperti  pengharaman  khomar yang juga bertahap.
Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu :
اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون النساء

Artinya: Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah.[7]
Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul ribawyah yang sama haram  untuk  berbeda,  antara  gandum  dengan  gandum  haram  untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda.
Selanjutnya, apakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli?  Berdasarkan kaedah   ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu:
1)  Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di dalamnya.
النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات
2) Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli  tidak  batal  tetapi  jual  beli  tersebut  sah,  hanya  saja  hukum akadnya menjadi makruh. 
النهى لا يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعاملات

Di dalam perkembangannya bahwa riba terdapat dalam banyak bentuk.  Salah  satu  bentuk  riba  adalah  bunga  bank.  Mengapa  bunga bank  haram?  Karena  terdapat  unsur  riba  jahiliyah  di  dalamnya. Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat  Arab sebagai riba nasi’ah.    Biasanya    orang    yang    memberi    hutang    ketika    jatuh tempo/waktu   pembayaran   akan   mengatakan   kepada   orang   yang berhutang  تقضي او تربيartinya hendak engkau lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah berlipat bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang telah dihitung, ketika  jatuh  tempo  dan  belum  dibayar  maka  secara  otomatis  denda akan dikenakan yang akan semakin menambah hutang nasabah.  
Riba nasi’ah  pada  dasarnya  adalah  riba  tempo,  yaitu  ketika seseorang berhutang dalam  waktu berjangka yang telah ditetapkan maka ia  dikenakan  tambahan  berdasarkan  persentase  bunga  dari  sisa pokok hutangnya.
Selanjutnya banyak pertanyaan yang sebenarnya adalah ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang menyebutkan  bahwa  riba  adalah  sama  atau  identik  dengan  jual  beli. Bahkan  banyak  juga  pertanyaan-pertanyaan  kritis  bahwa  bank  Islam atau  Bank  Syariah   tidak   lebih   hanya   sama   dengan   bank-bank konvensional.  Untuk  menjawab  hal  ini  penulis  mengutip  pendapat Prof. A. Mannan yang  menyebutkan  beberapa  perbedaan  antara perdagangan/jual beli bebas bunga dan jual beli berbunga :
1) Pengambilan  resikolah  yang  membedakan  antara  jual  beli  dan bunga. Bagi  perdagangan   normal   resiko   adalah   dasar   yang diperkenankan Islam, sedangkan bunga tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2) Bila modal yang diinvestasikan dalam perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil inisiatif, usaha, dan efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya tahu untuk tanpa usaha.
3) Perdagangan  adalah  produktif  dan  akan  mendapatkan  manfaat  sesudah bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka  seseorang  membuka  lapangan  kerja  dan  pertumbuhan  ekonomi. Adapun  bunga  terbukti  hanya  meningkatkan  krisis  dan  riskan terhadap resiko gejolak moneter.
4) Perdagangan  salah satu faktor dominan  dalam    proses pembangunan     peradaban,  sedangkan bunga menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri.[8]
F.     Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya sebagai berikut:
1.      Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”(Abu Nua'irn dalam Hilyah).
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
2. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik)
4. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial). Ini semua dapat diartikan, bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah pun telah mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan keamanan nasional dan internasional
5. Islam mengajak umat ini agar memberi utang kepada saudaranya secara baik (qardhul hasan) dengan tidak meminta bunga, tetapi dengan mengharapkan pahala yang besar dari Allah.




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Riba secara bahasa bermakna: Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam.
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di atas bahwa penulis sedikit menyimpulkan bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan cara bertahab-tahab mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang akhirnya diharakkan-Nya. Maka kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah harus berusaha menjahui riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu yang tidak riba.

B.  Saran
Selama proses penulisan makalah ini, penulis melakukan perenungan dalam pembuatan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca untuk lebih memahami tentang tafsir dalam Muamalah.
Dalam penulisan makalah ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharap sumbang kritik dan saran yang membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun seluruh pembaca.Wallauhua’lam





DAFTAR PUSTAKA

Antoni, Muhammad Syafi’I. 2009. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Depok: Gema Insani. (diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation (Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah Saeed.) Bik, Muhammad Hudri. 1988. UshuL Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr.
Depardemen Agama RI. Al Qur’an Dan Terjemahannya.
Ibnu Hajar. 2000. Bulugh al-Maram. Semarang: Toha Putra.
Mannan. 1992. Ekonomi  Islam:  Teori  dan  Praktek.  Alih  bahasa:  Potan  Arif Harahap. Jakarta: PT Intermasa.
Maroghi-Al, Ahmad Musthofa. TT. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6. Beirut: Dar al-  Fikr.
Nisabury-An. Asbab an-Nuzul. Beirut: Dar al-Fikr.
Shihab, Quraish. 2005. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: MIZAN.
Shobuni-Ash, Muhammad Ali. TT. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1. Beirut: Dar al-Fikr.
Katsir, Ibnu. TT. Al-Quran  al-Azhim.  Jilid.  1. Beirut:  Dar al-Fikr.
Katsir, Ibnu. 2005. Terjemah Singkat Tafsir jilid 1 dan 2. Terj. Salim. Surabaya: Bina Ilmu.



[1] Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1(Beirut: Dar al-Fikr) hal.39
[2] Ibid., hlm. 39
[3] Ahmad Musthofa al-Maroghi. Tafsir al-Maroghi.Jilid.2. Juz. 6 (Beirut: Dar al-  Fikr) hal. 18
[4]An-Nisabury. Asbab an-Nuzul. (Beirut: Dar al-Fikr) hal. 58-59
[5] Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199.
[6] Ibnu Hajar. Bulugh al-Maram. (Semarang: Toha Putra) hal.169.
[7] Muhammad Ali as-Shobuni. hal. 392.

[8] M.A  Mannan.  Ekonomi  Islam:  Teori  dan  Praktek.  Alih  bahasa:  Potan  Arif Harahap ( Jakarta: PT Intermasa. 1992) hal. 295-296.

Share:

0 comments:

Post a Comment

SESUNGGUHNYA YANG TERBAIK UNTUKMU PASTILAH UNTUKMU

About

AKU ADALAH DIRIKU DENGAN SEJUTA IMPIAN DAN HARAPAN BESARKU

Postingan Populer

Powered by Blogger.

hiburan

  • NOAH 6.903
  • NOAH AWAL SEMULA
  • Sang Pemimpi

Followers

NOAH

NOAH
logo NOAH