YANG TERBAIK UNTUKMU PASTI UNTUKMU

Monday, July 14, 2014

MAKALAH pemikiran Ahlu Sunnah Salaf

MAKALAH TEOLOGI ISLAM
Pemikiran Teologi Ahl al-Sunnah : Salaf
(Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)


  
Dosen Pembimbing :
M.Misbahul Anam, S.PdI, M.PdI

Di susun oleh :
 Dery Ariswanto (130711100086)


Prodi Hukum Bisnis Syariah
Fakultas Ilmu Budaya dan Ilmu Sosial
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

2013-2014


KATA PENGANTAR
 Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Alah SWT pencipta segala alam semesta beserta isinya. Karena atas segala limpahan Rahmat, Taufik, dan Hidayah-Nya, sehingga  kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan  kepada Nabi Agung Muhammad SAW sebagai panutan dan ikutan terbaik bagi umat yang membawa cahaya islam.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas Ulumul Hadist dengan judul “Pemikiran teologi Ahli al-Sunnah : Salaf (Ahmad Ibn Hamdal dan Ibn Taymiyah)“.
Kami menyampaikan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Teologi Islam, Bapak Misbahul Anam, S.PdI., M.PdI. yang telah membimbing Kami dalam penulisan makalah ini dan tentunya kepada teman-teman yang banyak membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan.
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, kami berharap para pembaca agar dapat memakluminya. Karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT, dan kekurangan adalah milik kita. Oleh karena itu diharapkan bagi para pembaca  dan para pemerhati pendidikan dimohon untuk memberikan kritik dan sarannya kepada kami demi kesempurnaan karya ilmiah ini.
           Wassalamualaikum Wr. Wb
                                                                                   
Bangkalan, 20 Maret 2014

                                                                                                            Penulis


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam disiplin ilmu kalam Kalau di pondok-pondok pesantren biasanya diajarkan kitab-kitab yang menjadi pegangan seperti Tijan Ad darari, Aqidatul Awam, Ummul barahin, Sanusiyah, Kifayatul Awam, jauhar Tauhid, Samarqandiyah dan kitab-kitab lain. Dimana kitab-kitab tersebut membahas mengenai kajian-kajian dalam ilmu kalam khususnya yang berafiliasi dengan aliran Al As’ariyah dan Al Maturidiyah yang lebih dikenal dengan aliran Ahlussunah.
Berkenaan dengan diskursus tentang Ahlussunnah maka saya akan mengutip beberapa literatur yang menjelaskan tentang apa dan siapa sebenarnya yang menyandang Aliran Ahlussunah dalam perspektif sejarah pemikiran Ilmu kalam atau Teologi Islam.
Arti Ahlussunnah ialah penganut Sunnah Nabi. Arti wal jama’ah ialah penganut I’tiqad sebagai I’tiqad Jama’ah sahabat-sahabat Nabi. Kaum ahlussunah wal Jam’ah ialah kaum yang menganut I’tiqad sebagai I’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad nabi SAW dan sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapid an teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H.- wafat di Basrah juga tahun 324 H. dalam Usia 64 tahun)
Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal jama’ah dengan kaum ‘asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan ‘Ali Al Asy’ari tersebut. Dalam kitab-kitab Ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunny, kependekan Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orangnya dinamai Sunniyun. Tersebut dalam kitab Ittihaf Sadatul Muttaqin karangan Imam Muhammad bin Muhammad al Husni az Zabidi, yaitu kitab Syarah dari kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali, pada jilid 2 pagina 6 yaitu : “Apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yag mengikut rumusan (paham) Asy’ari dan paham Abu Mansur al Maturidi.”.
Kaum Ahlussunah wal Jama’ah muncul pada abad 3 Hijriyah sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat (Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Mujassimah dan sebagian paham Ibnu Taimiyah) timbulah golongan yang bernama kaum Ahlussunah wal Jama’ah, yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syeikh Abu Hasan Ali al ‘Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam penulisan makalah ini yaitu:
A.    Apa pengertian Ahlu Sunnah wal Jama’ah?
B.     Bagaimana Ahlu Sunnah dalam pandangan Teologi Islam?
C.     Apa pengertian Ahlu Sunnah Salafiyyah?
D.    Bagaimana pemikiran teologi Ahmad bin Hanbal?
E.     Bagaimana pemikiran teologi Ibn Taimiyah?

C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
A.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud Ahlu Sunnah wal Jama’ah
B.     Untuk mengetahui Ahlu Sunnah dalam pandangan Teologi Islam
C.     Untuk mengetahui Ahlu Sunnah Salafiyyah
D.    Untuk mengetahui pemikiran teologi Ahmad bin Hanbal
E.     Untuk mengetahui pemikiran teologi Ibn Taimiyah







BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama’ah
Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah berasal dari kata-kata :
a. Ahl (ahlun), berarti golongan atau pengikut.
b. Al Sunnah berarti tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakup ucapan,  tindakan, dan ketetapan Rasulullah SAW.
c. Wa huruf ‘athaf yang berarti dan atau serta.
d. Al Jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku atau jalan hidup para sahabat.
Secara etimologis, istilah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berarti golongan yang senantiasa mengikuti jalan hidup Rasulullah SAW dan jalan hidup para sahabatnya. Atau golongan yang berpegang teguh pada sunnah Rasul SAW dan sunnah para sahabat, lebih khusus lagi sahabat yang empat, yaitu Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khatab, Ustman bin ‘Afan dan Ali Bin Abi Thalib.
Sejalan dengan pemikiran yang demikian itu , maka tepatlah definsi Ahlus Sunnah Wal jama’ah yang dikemukakan oleh Abu al Fadl bin al syekh ‘Abd al Syakur al Sanuri dalam kitabnya “ Al kawakib al lamma’ah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah wa al Jama’ah”. Bahwasanya yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah golongan yang senantiasa berpegang teguh (committed) mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Dan petunjuk (tariqah) para sahabatnya, baik dalam lingkup akidah, ibadah maupun dalam lingkup akhlak.
Meskipun belum secara tegas terungkap istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, namun maknanya yang tersirat di dalamnya, yakni bahwa golongan yang selamat dari ancaman api neraka itu adalah golongan yang senantiasa mengikuti jejak (jalan hidup) Rasulullah SAW. Dan para sahabatnya. Makna yang demikian inilah yang kita maksudkan sebagai batasan (pengertian) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Dengan demikian, maka golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ialah satu-satunya golongan umat Islam yang selamat dari ancaman neraka, hal ini lebih tegas lagi diungkapkan dalam hadis lain yang Artinya : “(Rasulullah Saw. bersumpah) bahwa demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad,sungguh umatku bakal terpecah  menjadi 73 golongan.Maka yang satu golongan masuk surga,sedangkan yang 72 golongan masuk neraka.Seorang sahabat  bertanya: Siapakah golongan yang masuk surga itu ya Rasulullah? Jawabnya: Yaitu golongan Ahlus Sunnah Wal jama’ah”. (HR.Al-Tabrani)
Berdasarkan ketiga hadis tersebut, jelaslah bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam banyak golongan sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di antara 73 golongan itu, terdapat satu golongan yang selamat dari ancaman neraka, yakni golongan yang senantiasa mengikuti jejak hidup Rasulullah saw. Dan jejak hidup sahabatnya. Dan golongan yang selamat (masuk surga) itu ialah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sampai disini batasan subsatansial paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih diikuti oleh golongan terbanyak. Golongan mayoritas ini memang belum disebut sebagai golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Para ulama menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, antara lain :
a.    Jumhur al Ummah al islamiyyah (mayoritas Umat Islam).
b.    Jamaiyyah (umat terbesar)
c.    Al Sawad al A’dzam (kelompok Besar)
d.    Al salaf Al Salih (para pendahulu yang saleh-saleh)
e.    Ahl al Haq (golongan yang hak/benar)
f.     Ahl Al Hadis.
Perkembangan selanjutnya, nama-nama tersebut masih banya dipergunakan untuk menyebutkan golongan terbanyak yang tetap berpegang teguh kepada petunjuk naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), bahkan pada gilirannya, nama-nama itu sering dipergunakan sebagai nama lain dari Ahlus Sunnah Wal jama’ah.

B. Ahlu sunnah dalam prespektif teologi islam
Ahlu Sunah merupakan madzhab terbesar yang dianut umat Islam yang dikenal dengan sebutan Sunni. Para pengamat sejarah mensinyalir bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah Ibnu Abbas merupakan perintis gerakan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Keduanya dikenal sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW. Yang senantiasa memelihara sunnah-sunnah Rasulullah SAW. Bakan saat terjadinya kekuasaan Islam dari Khalifah Ali Bin Abi Talib oleh Muawiyah, kedua Abdullah itu tidak masuk dalam perselisihan. Mereka memilih hidup zuhud dan memfokuskan diri dalam ibadah-ibadh yang ketat (taqarrub) kepada Allah Azza Wa Jalla. Skap moderat itu kemudian menjadi ciri dari teologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau Sunni (mengutip Nurcholis Majid; Khazanah Intelektual Islam).
Menurut Nucholis Majid, istilah Ahlu Sunnah baru muncul pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah di bawah pimpinan Abu Ja’far Al Mansur (137-159 H/754-755 M) dan Harun Al Rasyid (170-194 H? 785-809 M), yakni saat munculnya Abu Hasan Al Asy’ari (260-324 H?873-935 M). yang beraliran Al asyariyah dan Abu Mansur Muhammad (w.944) yang beraliran Maturidiyah. Mereka berdua mengaku berpaham (madzhab) Ahlu Sunnah.
Istilah Ahlu Sunnah wal jama’ah apabila ditelusuri dari hadis terdapat pada Riwayat Imam Abu daud dan Ibnu Majah. Tapi istilah itu kemudian melekat pada kelompok Islam yang mendukung sunnah Nabi seperti ahli Hadis, ahli kalam dan ahli politik. (Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim, 1996)
Menurut Abdul Hadi Awang, mereka yang disebut Ahlu Sunnah adalah yang mengaku Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah, mengakui para pemimpin Islam Khulafa’ ar Rasyidun dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan As Sunnah. (Abdul Hadi Awang, Faham dan Ideologi Umat Islam : Rujukan Lengkap Anutan dan Aliran Pemikiran Masyarakat Islam Sejak Zaman Khalifah Islam Pertama, 2008).
Generasi pertama Ahlu Sunnah adalah para Sahabat Rasulullah SAW, tabi’in, dan setelah tabi’in yang dikenal dengan sebutan Salaf. Generasi selanjutnya adalah para ulama dari aliran Maturidiyah dan Asy’ariyah serta para ulama fiqih seperti Ahmad bin Hmbal (w.241 H), Abu Hanifah, Malik Bin Anas (w. 179), Imam Syafi’I, Imam Sufyan As Sauri, dan lainnya.
Keberadaan aliran Ahlu Sunnah mulai kelihatan pengaruhnya saat mendapatkan dukungan dari kekuasaan Daulah Abbasiyah yang dipimpin oleh Al Mu’tashim yang tidak ketat dalam persoalan aliran teologi. Untuk memperlihatkan dukungannya , khalifah Al Mutawakkil yang menjabat setelah Al Mu’tashim, membebaskan Ahmad bin Hambal dari tahanan dan menyatakan Mu’tazilah sebagai aliran terlarang. Bahkan pejabat-pejabat yang masih beraliran Mu’tazilah diharuskan bertobat dan masuk kealiran Ahlu Sunnah. Apabila masih bersikeras, tak segan-segan mereka disiksa hingga menyatakan kelaur dari keyakinannya.
Bahkan seorang Mu’tazilah yang juga pejabat hakim Mesir yang bernama Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais, oleh suruhan Al Mutaakkil dijatuhi hukuman cambuk, dicerca dan disiksa sampai hampir mati. Hal itu dilakukan sebagai balas dendam atas penyiksaan terhadapnya yang dilakukan Abu Bakar Muhammad bin Abi Lais saat melakukan mihnah. Hampir semua tokoh dan pengikut Mu’tazilah pun dijatuhi hukuman mati dan sebagian dipenjarakan serta disiksa hingga menyatakan keluar dari aliran Mu’tazilah.
Tindakan kejam yang berbalut unsur politik dan kebencian terhadap aliran yang berbeda ini menimpa juga pada sejarawan dan ahli tafsir ternama, Muhammad bin Jarir At Thabari (w.311 H/923 M). Ulama Sunni ini disiksa karena menulis buku “Ihtilafu Al Fiikaha” yang berisi tentang perbedan pendapat dalam fiqih, tetapi tidak mencantumkan pendapat Ahmad Bin Hambal. Setelah ditanya, At Thabari menjawab bawa Ahmad bin Hambal bukan seorang ahli fiqih, tetapi seorang ahli hadis. Atas jawababnya itu At Thabari diperlakukan secara keji dengan dilempari batu dan dituduh telah meremehkan ulama besar. Hal yang paling menyakitkan bagi At Thabari adalah munculnya larangan menghadiri kuliahnya dan mengharamkan membaca karya-karyanya.
Tidak hanya kepada Mu’tazilah kebijakan dan tindakan zalim khalifah Al Mutawakkil pun merambah kepada semua aliran yang bercorak rasional. Selain itu Al Mutawwakkil memerintahkan tentaranya untuk menghancurkan bangunan-bangunan suci Syi’ah, termasuk makam Al Husain bin Ali dan melarang berziarah ketempat tersebut.
Bagaimanakah ajaran dan pokok-pokok dasar keyakinan teologi Ahlu Sunnah ini ? dalam memaknai iman, aliran ini berpendapat bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Dalam konsep ketuhanan Ahlu Sunnah menetapkan bahwa tauhid meliputi rububiyah, uluhiyah, asma dan sifat. Mengenai Al Qur’an, Ahlu Sunnah meyakini al Qur’an sebagai kalam Allah, bukan Makhluk seperti yang diyakini Mu’tazilah.
Ahlu Sunnah menetapkan sumber pengambilan hukum didasarkan pada Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Seseorang belum dikatakan muslim apabila tidak menjalankan rukun Islam yang lima : membaca syahadat, shalat (lima waktu), puasa (ramadhan), zakat dan haji. Adapun dalam rukun iman (ushuluddina), Ahlu Sunnah menetapkan bahwa seseorang dikatakan beriman apabila meyakini Allah sebagai tuhannya, iman kepada malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul Allah, iman kepada hari Akhir (qiyamat) dan iman kepada qadha-qadar yang ditetapkan Allah.
Sejarah mencatat bahwa aliran ini pecah menjadi dua. Pertama adalah golongan salafiyah yang diwakili Ahmad bin Hambal, Abu Hasan Al Asy’ari (w.330), Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah (w.751) dan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M). adapun yang menjadi cirinya adalah mereka menafsirkan Al Qur’an dan hadis secara harfiyah (tekstual), menolak ta’wil, melarang keras penggunaan filsafat dan teologi, menolak semua ulama yang menafsirkan Al Qur’an secara batiniyah, menyalahkan pendapat para fuqoha apabila tidak sesuai dengan Al qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Untuk menolak paham Muktazilah, Asy’ari menyusun beberapa kitab tauhid. Tujuan penulisan kitab tauhid yang dikarangnya tidak lain kecuali sebagai upaya kembali pada jalan kebenaran. Yakni kembali kepada tradisi pemikiran ulama salaf. Dalam kisah itu, karya tauhid yang dimaksud antara lain kitab al Luma’(mengutip Syekh Hamad bin Muhammad al Anshari, mukaddimah(catatan komentar) Al Ibanah ‘an Ushul al Diyanah). Bahkan menurut al Hafidz, Asy’ari termasuk seorang tokoh yang sangat produktif. Akumulasi karyanya mencapai hitungan lima puluh lima kitab. Dan rata-rata, bahasan karya-karyanya seputar akidah yang diproyeksikan untuk menolak (counter) terhadap sendi-sendi bid’ah dan penyimpangan akidah.
Sejak saat itu ( setelah al Asy’ari menyampaikan kepada khalayak ramai bahwa dirinya telah melepaskan baju Muktazilah) al Asy’ari dengan gigih berjuang bersama Ahlul hadis meruntuhkan kepercayaan-kepercayaan Muktazlah. Beliau merumuskan pokok-pokok pikiran dalam berbagai kitab karangannya. Para pengikutnya pun berdatangan dari segala kawasan dunia Islam. Aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan al Asy’ariyah, dan dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini lebih banyak dikenal dengan sebutan Ahlusunnah wal Jama’ah.
Aliran ini diyakini oleh para pengikutnya sebagai faham yang mewarisi tradisi keagamaan Nabi SAW, para sahabat, tabiin dan tabiin-tabi’in. Mereka sebenarnya berjumlah mayoritas namun lebih banyak diam (silent mayoriti) menghadapi beragam persoalan yang terjadi. Artinya sejak timbulnya perpecahan di era Khalifah Usman RA dan ‘Ali RA, dikalangan umat sebenarnya terdapat golongan yang berjumlah mayoritas namun memilih diam dan tidak mau ikut campur dalam urusan politik. Mereka hanya diam dan mengamati setiap perkembangan yang terjadi. Merekapun tidak menyatakan diri bergabung dengan kelompok tertentu. Golongan inilah yang secara tradisional meneruskan tradisi kegamaan yang diwariskan secara turun-temurun sejak era Nabi SAW. Hingga periode berikutnya. Pada era kepemimpinan Al Ma’mun, dimana aliran rasional Muktazilah cenderung dipaksakan agar dianut oleh seluruh rakyat, akhirnya glongan ini menampakkan jati dirinya. Kebetulan saat itu terdapat seorang intelektual handal dan kharismatik, Abu Hasan Al Asy’ari, yang siap berada di barisan terdepan menentang faham Muktazilah. Bersama beliaulah golongan ini menggabungkan diri. Aliran Asy’ariyah pada Akhirnya menjadi aliran yang dianut mayoritas umat Islam hingga abad modern ini. 
Sehingga perjalanan panjang tokoh-tokoh pejuang Ahlussunah wal jama’ah dalam sisi tradisi pemikiran sesuai dengan yang disampaikan oleh Nabi SAW, sahabat dan salafus al Shalih harus kita teladani meski harus berhadapan dengan cibiran dan cemoohan sekalipun sebagaimana yang dialami ulama-ulama terdahulu dalam mempertahankan keyakinannya.
Selain paham tradisional Asy’ariyah, aliran Sunni semakin berkembang dengan lahirnya sekte-sekte baru yang mengkalim dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hambal, salah satu tokoh utama Sunni, tetapi tidak mengaku sebagai pengikut Asy’ari. Sekte baru tersebut dinamakan dengan Aliran salaf dan dipelopori oleh ulama kenamaan Ibnu Taimiyah. Paham salaf Ibnu Taimiyah ini pada abad-abad berikutnya semain berkembang dengan melahirkan sekte cabang baru yang cukup banyak jumlahnya seperti aliran salaf dan gerakan Wahabi.  
Pada permulaan abad ke-5 Hijriyah aliran Muktazilah akhirnya mati sama sekali, dan tinggallah Syi’ah dan Sunni yang terus bertahan. Pada abad ini gerakan kembali ke aliran Salaf yang digelorakan Ibnu Taimiyah beberapa abad sebelumnya, berhasil melahirkan gerakan-gerakan baru dikalangan kaum Sunni, seperti Wahabi di Saudi Arabia dan Muhammadiyah di Indonesia. Sementara aliran-aliran Sunni lainnya seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah juga terus bertahan dan bahkan melahirkan gerakan baru pula, seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Bagimanapun, yang dimaksud dengan Ahli sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan Teologi Islam adalah Kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi.

C.Ahlu Sunnah Salaf
Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi "terdahulu" atau "leluhur". Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1]
Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:
Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antropomorphisme).[2]
Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fatimah az-Zahra:
 فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
Artinya: "Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya".
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an, khurafat, syirik dalam agama Islam”.
Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan, menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.[3]
Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri, metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan sebaginya.
W. Montgomery Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Bagdad pada abad ke-13. Pada masa itu terjadi gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali. Sebelum akhir abad itu terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerusalem dan Damaskus. Di damaskus, kaum Hanbali makin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebabkan serangan Mongol atas Irak. Diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran, yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama’ besar penganut imam Hanbali yang ketat.[4]
Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Ibrahim Madzkur sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang agama hanya bertolak dari penjelasan al-Kitab dan as-sunnah
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah) dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan Allah dengan makhluk)
4. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan tidak berupaya untuk mentakwilnya.
Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama salaf, yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin Abdul  Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’farAhs-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi,i, dan Ahmad bin Hanbal). Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.
Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima, tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.[5]

D.Pemikiran Ahmad ibn Hanbal
1.  Sejarah Singkat Ibnu Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H/780 M dan meninggal pada tahun 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah satu anaknya bernama Abdillah, namun ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri madzhab Hanbali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’ab bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga Nizar Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya Nabi Muhammad Saw.
Ilmu yang pertama beliau kuasai adalah al-Quran sehingga beliau hafal pada usia 15 tahun. Lalu beliau mulai berkonsentrasi belajar Ilmu Hadits pada awal usia 15 tahun pula. Pada usia 16 tahun ia memperluas wawasan ilmu al-Quran dan ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Khufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah dan Madinah.
Diantara guru-gurunya ialah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdur Razaq bin Humam dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, ushul dan bahasa Arab.[6]
Ibnu Hanbal dikenal sebagai seorang yang zahid, teguh dalam pendirian, wara’ serta dermawan. Karena keteguhannya, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan madzhab Mu’tazilah, Ibnu Hanbal menjadi korban mihnah (inquisition).  karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk. Akibatnya pada masa pemerintahan Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq ia harus mendekam dipenjara. Namun setelah Al-Mutawakkil naik tahta Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan, penghormatan dan kemuliaan.
2.  Pemikiran Teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal
a.  Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat
Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil. Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat) dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy (Q.S. Thaha:5)[7]
Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab :
 إِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ كَيْفَ شَآءَ وَكَمَا شَآءَ بِلاَ حَدٍّ وَلاَصِفَةٍ يُبْلِغُهَا وَاصِفٌ
Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.
Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata: “Kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.
Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya.
b.  Tentang Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal, yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali, adalah tentang status al-Qur’an, apakah diciptakan (mahluk) yang karenanya hadits (baru) ataukah tidak diciptakan yang karenanya qodim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah dibawah kepemimpina khalifah Al-Makmun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq, adalah faham Mu’tazilah, yakni al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi baru dan diciptakan. Faham adanya qodim disamping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan adalah Syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibnu Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:
Ishaq bertanya     :  Bagaimana pendapatmu tentang Al-Qur’an?
Ahmad bin Hambal:  Ia adalah kalam Allah.
Ishaq                    :  Apakah ia makhluk?
Ibn Hambal          :  Ia adalah kalam Allah, aku tidak menambahnya lebih dari itu.
Ishaq                    : Apakah arti bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat?
Ibn Hambal          : Itu seperti apa yang Dia sifatkan kepada diri-Nya.
Ishaq                    : Apakah maksudnya?
Ibn Hambal    : Aku tidak tahu, Dia seperti apa yang Dia sifatkan kepada  diri- Nya.[8]                          
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak diciptakan. Hal ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bagi Ahmad bin Hanbal, iman adalah perkataan dan perbuatan yang dapat berkurang dan bertambah, dengan kata lain iman itu meliputi perkataan dan perbuatan, iman bertambah dengan melakukan perbuatan yang baik dan akan berkurang bila mengerjakan kemakiatan.[9]

E. Pemikiran Ibn Taimiyah
1. Riwayat singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya Ahmad Taqiyudin Abu Abbas bin Syihabuddin Abdul Mahasin Abdul Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Abi Qasim Al Khadar bin Muhammad bin Al-Khadar bin Ali bin Abdillah. Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji moyangnya itu.[10]
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 tahun ia telah dipercaya masyarakat untuk memebrikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama merasa sangat risau oleh serangan-serangannya serta iri hati terhadap kedudukannya di istana gubernur damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran ibn taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiyah sebagai klenik, antropomorpisme sehingga pada awal 1306 M ibn taimiyah dipanggil ke Kairo kemudian dipenjara.
2. Pemikiran Teologi Ibnu Taimiyah
Program utama Ibn Taymiyyah, sebenarnya, tidak hanya terbatas pada masalah takdir, melainkan “menemukan dan mengangkat kembali masyarakat Islam normatif awal yang didasarkan pada ajaran al-Quran dan Sunnah, seperti ia melihatnya.” Meskipun demikian, berbeda dengan para pendahulu Sunni-nya, ia dapat melihat secara lebih kritis terhadap generasi awal Islam.
Konsep takdir Ibn Taimiyyah secara sederhana adalah menerima takdir Tuhan merupakan bagian esensial keyakinan Islam, tetapi meletakkan takdir sebagai maaf atas kesalahan seseorang adalah dosa besar. Persoalannya, bagaimana Ibn Taymiyyah dapat mengompromikan dua hal yang bertentangan ini? Secara bertahap ia mengemukakan tiga argumen yang satu sama lain saling menunjang.
Pertama, Kehendak Tuhan terdiri dari dua jenis atau dua tingkat yang berbeda. Yang pertama ia sebut Kehendak Kreatif (iradah kawniyyah), yang kedua adalah Kehendak atau Perintah (moral) keagamaan (iradah diniyyah). Kedua aspek Kehendak Tuhan ini tidak hanya sejajar secara mekanis, tetapi disatukan dan dimasukkan ke dalam aktivitas Tuhan yang bertujuan, yang ditolak oleh al-Asy‘ari (yang memandang, misalnya: seorang Muslim yang taat dapat dimasukkan ke neraka, sebaliknya, seorang kafir dapat masuk surga; ini artinya, perintah Tuhan agar manusia taat dan beribadah kepada-Nya tak ada konsekuensinya bagi nasibnya, kelak orang semacam itu bisa celaka atau mendapatkan keselamatan, seluruhnya adalah Kuasa Mutlak Tuhan). Penjelasannya tentang adanya kejahatan adalah bahwa untuk mencapai kebaikan yang lebih besar hal itu diperlukan. Keburukan hanyalah insidental terhadap kebaikan dan relatif kecil dibanding dengan melimpahnya kebaikan.
Argumen kedua, Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa takdir adalah Ketentuan Tuhan yang komprehensif, yang merupakan objek keimanan dan bukan dasar tindakan. Dalam kaitannya dengan keyakinan Muslim bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa Kehendak Tuhan yang besar, adalah tautologi untuk mengatakan, misalnya, bahwa saya menulis baris-baris ini terjadi karena Kehendak Tuhan. Tetapi, hingga tulisan saya benar-benar terjadi, saya tidak tahu apa Kehendak Tuhan tentang tulisan saya. Karena itu, penisbatan saya atas tindakan, atau tindakan tertentu saya, tidak dapat dinisbatkan dengan tepat kepada Tuhan hingga masalah itu telah berlalu. Karena kita tidak pernah dapat mengetahui, setidaknya dengan pasti, apa Kehendak Tuhan yang akan terjadi untuk masa depan.
Argumen ketiga, dengan memanfaatkan konsep sebab-sebab efisien dan teleologis Aristoteles, Ibn Taymiyyah menyatakan, “Takdir adalah kehendak Tuhan menjadikan segala sesuatu terjadi dan merupakan sebab efisien bagi semua. Sebaliknya perintah Tuhan, meskipun ia mengandaikan Kehendak tersebut, secara khusus berkaitan dengan masa depan, bukan dengan apa yang telah terjadi, tetapi apa yang harus terjadi.” Karena itu, perintah tersebut diarahkan kepada kehendak manusia dalam hubungannya dengan apa yang diharapkan akan muncul di dunia. Perintah tersebut adalah Syari‘ah. Manusia, sebagai agen yang berpikir dan aktif di dunia, karenanya, dituntut untuk mengimplementasikan Syari‘ah dalam konteks sejarah. Manusia diijinkan untuk menggunakan dan turut campur dengan kerja alam, meskipun beriman kepada Yang Maha Kuasa, bahkan kepada Kehendak Tuhan yang bertujuan harus tetap ada di balik pikiran mereka.
Demikian konsep Ibn Taymiyyah, dan kami kira, dalam merumuskan suatu jalan tengah, ia jauh lebih berhasil daripada al-Asy‘ari.
Pemikiran Ibnu Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur, adalah sebagai berikut:
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim maka kalamnya juga qadim. Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis oleh sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwwa pengakuan ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[11]
1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
b. Sifat Ma’ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam.
c. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit, Allah di Arasy, Allah turun ke langit dunia, Allah dilihat oleh orang yang beriman di surga kelak, wajah, tangan, dan mata Allah.
d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan) kepada makhluk seperti rabbul ‘alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3.  Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta’thil)
c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb ‘alal ‘alamin).
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Dalam masalah perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
a. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan yang mutlak. Oleh sebab itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.[12]
Ø Pandangan Ibn Taimiyah tentang Tasawuf
Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang cukup berbeda dengan pemikir lain tentang tasawuf. Karena perbedaan ini kemudian banyak yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah sosok yang sangat antipati terhadap tasawuf, bahkan dalam sebuah literatur dikatakan bahwa dia sama sekali menolak tasawuf (He denies tasawuf entirely) walaupun tidak dapat disangkal pula ada yang berpendapat bahwa beliau tidaklah menolak sama sekali hanya saja corak tasawufnya sangat berbeda dengan yang lainnya, misalnya al ghazali.
Tentang keabsahan Tasawuf sebagai jalan menempuh kebenaran, menurutnya tidak selamanya metode tasawuf dapat mengantarkan pada kebenaran, bahkan mustahil manusia bisa mengetahui kebenaran sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah. Makrifah, sesuatu yang sering disebut-sebut sebagai tujuan akhir kegiatan tasawuf, juga tidak dapat mengantarkan pada kebenaran. Menurutnya, tujuan akhir kehidupan manusia adalah ibadah. Baginya tasawuf memang dapat mengantarkan seseorang pada pembersihan jiwa (tazkiyah), namun posisinya sama dengan prilaku moralitas pada umumnya, dimana seseorang yang memiliki akhlak yang tinggi akan membantu pembersihan jiwanya. Ibnu Taimiyah mengakui keabsahan metode eksperimental tasawuf, tapi ia menyarankan agar Tasawuf juga mempergunakan validitas eksternal untuk menguji kebenaran konsepnya. validitas eksternal yang dimaksud adalah ajaran pokok yang ada dalam Islam. Inti dari pandangan Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf adalah bahwa ia (tasawuf) merupakan perpanjangan dari agama Islam yang secara normatif harus bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah dan secara historis applikatif harus merujuk pada keteladanan salaf al salihin. Beliau juga berpandangan bahwa tasawuf adalah produk ijtihad dalam arti hasil penelaahan dan pemikiran mengenai cara yang ditempuh untuk menjalankan ajaran agama Islam dengan benar dan sungguh-sungguh sehingga ia bukanlah satu satunya sarana atau jalan yang paling benar dalam melaksanakan ajaran agama sebagaimana yang diklaim para sufi. Dari sini dapat juga dipahami mengapa Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa konsep Wahdatul Wujud merupakan sesuatu yang membahayakan karena menurut beliau konsep ini mengaburkan perbedaan antara sang Khaliq dengan Makhluq. Terlebih lagi ekses tersebut ternyata banyak yang disalah gunakan, misalnya bila seorang (wali,syeikh) sudah dianggap sampai pada tahapan ittihad maka ia berada di luar batas batas syari’at dalam arti ia tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan syari’at. Segala sesuatu yang dilakukan dengan tidak berdasarkan syari’at, maka menurut Ibnu Taimiyah ia adalah perbuatan yang menyimpang.


BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
            Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 729 H. Ibnu Taimiyah merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, dan zuhud serta seorang panglima dan penetang bangsa Tartas yang pemberani. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits mufassir (Ahli tafsir Al-Quran berdasarkan hadits), faqih, teolog, bahkan memiliki pengetahuan yang luas tentang filsafat.
                Program utama Ibn Taymiyyah, sebenarnya, tidak hanya terbatas pada masalah takdir, melainkan “menemukan dan mengangkat kembali masyarakat Islam normatif awal yang didasarkan pada ajaran al-Quran dan Sunnah, seperti ia melihatnya.” Meskipun demikian, berbeda dengan para pendahulu Sunni-nya, ia dapat melihat secara lebih kritis terhadap generasi awal Islam.
                Konsep takdir Ibn Taimiyyah secara sederhana adalah menerima takdir Tuhan merupakan bagian esensial keyakinan Islam, tetapi meletakkan takdir sebagai maaf atas kesalahan seseorang adalah dosa besar. Persoalannya, bagaimana Ibn Taymiyyah dapat mengompromikan dua hal yang bertentangan ini? Secara bertahap ia mengemukakan tiga argumen yang satu sama lain saling menunjang.

B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan ini, meskipun penulisan ini jauh dari kata sempurna, minimal kita bisa mengimplementasikan tulisan ini. Mungkin masih banyak kesalahan dari penulisan makalah ini, karena saya adalah manusia yang tempatnya salah dan dosa: dalam hadits “al insanu minal khotto’ wannisa’, dan kami juga butuh saran/ kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih untuk dosen pembimbing mata kuliah Teologi Islam, Bapak Misbahul Anam, S.PdI., M.PdI yang telah memberikan bantuan dalam proses pembuatan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad. 1994. Islam Tidak Bermazhab. Jakarta: Gema Insani.
Abbad, Sirajudin. 1987. I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyyah.
Dasuki, Hafisz. 1993. Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Depad RI. 2007. Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Hikmah, Bandung: Diponegoro.
Fauzi, Ahmad. 2006. Ilmu Kalam (sebuah pengantar), Cirebon: STAIN Press.
Ghazali, Adeng Muhtar. 2003. Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Bandung: CV PUSTAKA SETIA.
Mustopa. 2011. Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, Cirebon: Nurjati IAIN _publisher.
Nasir. Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), Jakarta: Rajawali Pers.
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan.  2012. Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia. cet ke-2
Saad, Thablawy Mahmud. 1984. At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, Mesir: Al-hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-Kitab.
Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru.
Watt, W. Montgomerry. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadi Kusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana.


[1] Thablawy mahmud Saad, At-Tashawwuf fi Turasts Ibn Taimiyah, (Mesir: Al-hai Al-Hadis Al-Mishriyah Al-Ammah li Al-Kitab, 1984), hal. 11-38
[2] Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, hal. 109
[3] Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003), hal. 101
[4] Rozak, Op.Cit.., hal. 109
[5] Mustofa Muhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta: Gema Insani, 1994), hal. 390
[6] Hafisz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid.V cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 82
[7] Depad RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Al-Hikmah, (Bandung: Diponegoro, 2007), hal.  312
[8] Sahilun A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teology Islam ), (Jakarta: Rajawali Pers. 2010).  hal. 126-127
[9] Ahmad fauzi, Ilmu Kalam (sebuah pengantar), (Cirebon: STAIN Press), hal. 99
[10] Sirajudin Abbad, I’tiqad Ahlusunnah Wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyyah,1987),hal.  261
[11] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, (Bandung: Sinar Baru, 1993), hal. 58-60
[12] Mustopha, Mazhab-Mazhab Ilmu Kalam, (Cirebon: Nurjati IAIN _publisher, 2011),  hal. 58
Share:

0 comments:

Post a Comment

SESUNGGUHNYA YANG TERBAIK UNTUKMU PASTILAH UNTUKMU

About

AKU ADALAH DIRIKU DENGAN SEJUTA IMPIAN DAN HARAPAN BESARKU

Postingan Populer

Powered by Blogger.

hiburan

  • NOAH 6.903
  • NOAH AWAL SEMULA
  • Sang Pemimpi

Followers

NOAH

NOAH
logo NOAH