RANGKUMAN
BUKU
HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo
Disusun Oleh:
Dery Arsiwanto
Selayang
Pandang
Buku Hukum
Perlindungan Konsumen ini adalah salah satu buku yang cukup menarik dengan
pembahasan yang cukup rinci dan sistematis seputar perlindungan konsumen. Buku
karya Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo ini berisi pasal-pasal dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Termasuk juga aturan pelaksananya yang berupa (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional; (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 58 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan Konsumen; (3) Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 tentang
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat; (4) Keputusan Presiden Nomor
90 tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian sengketa Konsumen.
Buku ini
merupakan bentuk telaah kritis atas peraturan-peraturan di bidang perlindungan
konsumen. Tidak hanya itu, Penulis buku ini juga menyajikan berbagai aturan
lain yang memiliki korelasi dengan perlindungan konsumen diantaranya UU Pangan,
UU kesehatan, dll,. Yang paling mendasar dari buku ini yaitu
tersistematisasinya Undang-undang Perlindungan Konsumen yang dilengkapi dengan
Teori-teori hukum dan komentar-komentar penulis juga. Berdasarkan penjelasan di
buku ini, penyusun mencoba meringkas isi dari buku ini dengan singkat dan mampu
merepresentasikan seluruh isi buku ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
- Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
- Pelaku
usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
- Barang
adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
konsumen.
- Jasa adalah
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
- Promosi
adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang
dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau
jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
- Impor
barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
- Impor jasa
adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
- Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
- Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
- Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
- Badan Perlindungan
Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya
pengembangan perlindungan konsumen.
- Menteri
adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang perdagangan.
Rumusan
pengertian perlidungan konsumen yang terdapat dalam pasal 1 angka 1
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya
disebut UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum” diharapakan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenangan yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen. UUPK tidak hanya mengatur tentang
perlindungan terhadapa konsumen, namun juga mengatur tentang perlindungan
terhadap pelaku usaha. Karena perkonomian nasional banyak ditentukan oleh para
pelaku usaha.
Penggunaan
istilah ”pemakai” dalam rumusan pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya
kurang tepat. Ketentuan yang menyatakan “konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan
dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lainnya”, tampak ada kerancuan di dalamnya.
Sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan
untuk keluarga, bijstander, atau makhluk hidup lainnya. Juga menimbulkan kesan
barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi
transaksi jual beli. Jika seandainya digunakan istilah “setiap orang yang memperoleh”
maka secar hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang
diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun orang lain.
Sementara
dalam angka 3, Pelaku usaha dalam UUPK cukup luas, sama dengan masyarakat Eropa
seperti Belanda. Pelaku usaha tidak mencakup eksportir di luar negeri. Makna
luas pelaku usaha akan memudahkan konsumen dalam menuntut ganti rugi.
Dalam
angka, Pengertian barang meliputi hasil pertanian, perikanan, dan perburuan
tidak proporsional sedangkan produk menurut konvensi meliputi produk natural
dan industrial.
Penyebutan
“bagi masyarakat” pada angka 5 memberikan kesan bahwa jasa yang dimaksud
haruslah jasa yang ditawarkan kepada lebih dari satu orang. Lebih tepat
seharusnya “bagi anggota masyarakat”.
Angka
6 menjabarkan bahwa dalam kegiatan pengenalan, harga yang ditawarkan biasanya lebih rendah dari pada harga yang
diperdagangkan di tempat lain. Kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah
pabean melibtkan kepentingan konsumen diatur dalam angka 7. Pada angka 8
menyebutkan bahwa Impor jasa hakikatnya sama dengan impor barang. Penyebutan
“diakui oleh pemerintah” dan “terdaftar” menimbulkan kesan sebagai LSM plat
Merah yang mengaburkan makna sebagai swadaya masyarakat seperti yang terkandung
dalam angka 9. Apabila pemerintah bermaksud untuk mengontrol, cukup diatur
dalam UU yayasan.
Pengertian
kalusula baku menekankan ada prosedur pembuatnnya sebgai makna pada angka 10.
Pasal 1 angka 11 memiliki Pengertian hanya menyebutkan tugas BPSK, yang
ketentuan tugas BPSK telah diatur dalam pengatran yang lain.
Pengertian
BPKN cukup luas, BPKN juga memiliki pesamaan dengan LPKSM yaitu menangani
perlindungan konsumen sebagai perwujudan atas angka 12. Sedangkan angka 13
menjelaskan bahwa Menteri yang dimaksud adalah menteri perdagangan, dan bukan
atau bersama-sama dengan menteri perindustrian.
Untuk
melengkapi pengertian beberapa hal diatas, Pengertian tanggung jawab produk
adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam
peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut.
BAB
2
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Penjelasan
Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1.
Asas
rnanfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besamya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan membedakan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4.
Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas
kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan
subtansi dari pasal 2 UUPK, tampak bahwa perumusan mengacu pada filososfi
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Keadilan, kemanfaatan,
dan kepastian hukum sebagai tiga dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum. Ketiga hal tersebut juga oleh banyak ahli
hukum disebut sebagai tujuan hukum.
Pasal
3
Perlindungan konsumen bertujuan:
- meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
- mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
- meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
- menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
- menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
- meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Tujuan
perlindungan konsumen itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai. Dan dalam
UUPK ini memiliki tujuan khusus. Pengelompokan tidak berlaku mutlak karena terdapat tujuan yang
dapat dikualifikasikan ganda.
BAB
3
HAK
DAN KEWAJIBAN
Pasal
4
Hak konsumen adalah:
- hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau
jasa;
- hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
- hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
- hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
- hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
- hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
- hak untuk
mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penjelasan
Huruf
g
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin
dan status sosial lainnya.
Pengertian
hak konsumen yang tercantum dalam pasal UUPK lebih luas dibandingkan penjelasan
hak konsumen yang diungkapkan J.F. Kennedy yaitu hak untuk memperoleh keamanan,
memilih, mendapat informasi, untuk didengar. Apabila konsumen benar akan
dilindungi, maka hak-hak konsumen diatas harus dipenuhi.
Pasal
5
Kewajiban konsumen adalah:
- membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Kewajiban
dalam UUPK ini untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini menjadi lebih
mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara
patut.
Pasal
6
Hak pelaku usaha adalah:
- hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
- hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang
diperdagangkan;
- hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pelaku
usaha tidak dapat menuntut lebih banyak dari pada konsumen, hak pelaku usaha
berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau BPSK/pengadilan.
Pasal
7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
- beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
- memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
- memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau
jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Penjelasan
Huruf
c
Pelaku
usaha dilarang rnembeda-bedakan konsurnen dari memberikan pelayanan. Pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
Huruf
e
Yang
dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji
atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Dalam
UUPK, pelaku usaha diwajibkan beriktikat baik dan menyampaikan informasi yang
benar terhadapa suatu produk. Disamping itu perlu juga representasi yang benar
terhadap suatu produk, perlu juga adanya peringatan, dan instruksi juga penting
untuk menjamin efisiensi penggunaan produk.
BAB
4
PERBUATAN
YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal
8
- Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
- tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
- tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;
- tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut,
- tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tersebut;
- tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
- tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
- tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
- Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi
secara lengkap dan benar.
- Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Penjelasan
Huruf
g
Jangka
waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata
best before yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
Pada
intinya subtansi dari pasal ini tertuju pada dua hal yaitu larangan memproduksi
barang dan/atau jasa, dan larangan meperdagangkan barang dan/atau jasa yang
dimaksud untuk mewujudkan produk yang layak edar. Untuk melindungi konsumen
agar tidak dirugikan maka dapat ditempuh melalui cara antar lain dengan adanya
standart mutu, HAKI/merk, Daluarsa Kehalalan, dan pengawasan produk impor.
Pasal
9
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
- barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu;
- barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
- barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja
atau aksesori tertentu;
- barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
- barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
- barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
- barang
tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
- barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
- secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
- menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
- menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
- Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk
diperdagangkan.
- Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Secara
subtansi, pasal 9 tampak sedikit rancu sehingga perlu dilakukan revisi bahkan
sebagian dari ayat-ayatnya berlebihan. Larangan ini tertuju pada pelaku usaha
yng bertujuan menciptakan tertib perdagangan dan iklim usaha yang sehat.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai:
- harga atau
tarif suatu barang dan/atau jasa;
- kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
- kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
- tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
- bahwa
penggunaan barang dan/atau jasa.
Secara
garis besar subtansi dari pasal ini sama dengan pasal 9 karena menyangkut
masalah larangan terhadap pelaku usaha.
Pasal
11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan
melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen
dengan:
- menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu;
- menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
- tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
- tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
- tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
- menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Penjelasan
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang
memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
Larangan
pada pasla ini masih menyangkut representasi yang tidak benar dilakukan oleh
pelaku usaha, sebagaiman yang telah dikemukakan oleh pasal-pasal sebelumnya.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan
atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus
dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal
ini tertuju pada larangan terkait perilaku pelaku usaha yang terlihat dari
kegiatan menawarkan, promosi, dan iklan.
Pasal
13
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
- Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain.
Pasal
ini tertuju pada larangan terhadap cara-cara penjualan melaui penawaran, dll.
Hakikat perdagangan tidak ada pelaku usaha yang mau menderita kerugian.
Pasal
14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk:
- tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
- mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
- memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
- mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Tentang
perilaku cara penjualan dan transparansi melalui media massa.
Pasal
15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Khusus
dalam pasal ini, cara paksaan yang menempatkan posisi konsumen menjadi lemah. Door to door sale tidak dilarang,
kecuali cara paksaan yang diperdagangkan secara profesional oleh sales.
Pasal
16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
melalui pesanan dilarang untuk:
- tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan;
- tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Larangan
ini menjadikan perbuatan tidak menempati pesanan dan/atau tidak menempati
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan, termasuk tidak
menepati janji atas suatu pelayanan/prestasi.
Pasal
17
- Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
- mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau
jasa;
- mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
- memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
- tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
- mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan
yang bersangkutan;
- melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
- Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat 1.
Pasal
ini secar khusus ditujukan pada perilaku pelaku usaha periklanan yang
mengelabuhi konsumen melalui iklan yang diproduksinya.
BAB
5
KATENTUAN
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal
18
- Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
- menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
- menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
- menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
- menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung,
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
- mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;
- memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
- menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
- menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch
konsumen secara angsuran.
- Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
- Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan
ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
- Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini.
Penjelasan
Ayat
1
Larangan
ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Setelah
lahirnya UUPK, perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin baik
karena berdasarkan pasal 18, dilarang memuat klausula-klausula baku tertentu
dalam perjanjian antara konsumen dengan produsen. Pembatasan larangan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang
memiliki kedudukan lebih kuat yang pada kahirnya akan merugikan konsumen.
BAB
6
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Pasal
19
- Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
- Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsur kesalahan.
- Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pasal
ini menunjukkan betapa uasnya tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung
jawab kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen. Sementara dalam
ayat selanjutnya mencerminkan kelemahan yang sifatnya merugikan konsumen,
kerugian tersebut menyebabkan sakitnya konsumen.
Pasal
20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan
yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pengaturan
ini merupakan langkah maju untuk mengantisipasi anggapan ynag selama ini
berlaku dikalangan pelaku usaha periklanan, yang menyatakan seolah-olah
dianggapa sebagai alat promosi belaka yang tidak memiliki akibat hukum.
Seharusnya pelaku usaha periklanan hanya bertanggungjawab pada akibat yang
ditimbulkan oleh kreasinya sendiri.
Pasal
21
- Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsen luar negeri.
- Importir
jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing.
Subtansi
pasal ini sudah tepat, karena UUPK hanya tertuju pada pelaku usaha yang
menjalankan usaha di Indonesia, dan karenanya importir harus bertanggung jawab
sebagai pembuat barang impor dan/atau sebagai penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan
dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan
Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Penjelasan
Pasal
22
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Walaupun
langkah maju tetapi masih memiliki masalah untuk dapat berlaku efektif. Sistem
pembuktian terbalik juga dapat merugikan konsumen jika disalahgunakan.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi
tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat
melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan
di tempat kedudukan konsumen.
Ketentuan
ini merupakan hal baru dalam dunia peradilan di Indoensia dan langkah maju
untuk memberdayakan konsumen dalam menuntut haknya atas ganti rugi terhadapa
pelaku usaha.
Pasal
24
- Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila:
- pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut;
- pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
- Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain
yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan
melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pelaku
usaha bertanggung jawab atas tuntutan
ganti kerugian konsumen sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan
konsemen. Secara a contranio, mengubah barang sebelum menjual kembali
membebaskan produsen.
Pasal
25
- Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau
garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
- Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
- tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
- tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Kontrak
juga mengikat dalam pasca pelaksanaan kontrak. Kewajiban menyediakan suku
cadang purna jual tidak tergantung ada tidaknya ditentukan dalam perjanjian.
Pasal
26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi
jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Subtansi
pasal ketentuan ini dimaksudkan agar subtansi masuk ke dalam satu sistem
perlindungan konsumen. Konsekuensinya, jika tidak diatur dalam perjanjian maka
konsumen tidak dapat menuntut berdasarkan wanprestasi atau PMH.
Pasal
27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari
tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
- barang
tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk
diedarkan;
- cacat
barang timbul pada kemudian hari;
- cacat
timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
- kelalaian
yang diakibatkan oleh konsumen;
- lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Penjelasan
Huruf
b
Cacat
timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari
pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah
ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Huruf
e
Jangka
waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.
Berdasarkan
pasal ini, istilah “cacat barang” tidak dijelaskan secara lanjut melalui
definisi dalam pasal 1 maupun dalam penjelasan pasla 27, sehingga kurang
lengkap. Dan alternatif yang diberikan dalam huruf e, membuka kemungkinan disalahgunakan.
Pasal
28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam
gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Pelaku
usaha yang dapat membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya, terbebas
dari tanggung jawab ganti rugi.
BAB
7
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
29
- Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
- Pembinaan
oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
- Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen.
- Pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2
meliputi upaya untuk:
- terciptanya
iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan
konsumen;
- berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- meningkatnya
kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Keterlibatan
pemmerintah dalam perlindungan konsumen didasrkan pada pembukaan UUD 1945. Hal
ini bertujuan untuk menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban masing-masing.
Pasal
30
- Pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
- Pengawasan
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.
- Pengawasan
oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
- Apabila
hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen,
Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
- Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan
dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
- Ketentuan
pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan
ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan
Ayat
2
Yang
dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara
teknis menurut bidang tugasnya.
Ayat
3
Pengawasan
silang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan
cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan
informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan. pemasangan label,
pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha.
Ketentuan
pasal ini cukup menjanjikan upaya perlindungan konsumen. Pengawasan telah
menitikberatkan pada peran masyarakat dan LPKSM. Pengawasan dalam hal ini juga
menuntut upaya pemberian pemahaman dari peningkatan kesadaran yang menjadi hak
konsumen. Sementara itu, pemerintah juga ikut aktif melakukan pengawasan.
BAB
8
BADAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Pasal
31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen
dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
BPKN
dibentuk sebagai upaya untuk mengembangkan perlindungan konsumen. Dan terdapat
kesungguhan melindungi konsumen yang selama ini banyak menjadi objek produksi.
Pasal
32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di
Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
BPKN
memiliki kedudukan yang kuat sebagai badan independen.
Pasal
33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi
memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.
Subtansi
pasal ini memperjelas peran BPKN terhadap perlindungan konsumen.
Pasal
34
- Untuk
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
- memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
- mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
- menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
- melakukan
survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
- Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen
internasional
Penjelasan
Huruf
e
Keberpihakan
kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi
terhadap konsumen (wiseconsumerism).
Fungsi
BPKN cukup menggembirakan, mengingat kedudukannya yang kuat dan sebelumnya
lebih banyak diperankan oleh YLKI. Kehadiran BPKN merupakan bentuk perlindungan
konsumen dari arus atas.
Pasal
35
- Badan
Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap
anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya
15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang
anggota yang mewakili semua unsur.
- Anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
- Masa
jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu)
kali masa jabatan berikutnya.
- Ketua dan
wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Penjelasan
Ayat
1
Jumlah
wakil setiap unsur tidak harus sama.
Memperhatikan
pasal ini, struktur BPKN hnay meliputi ketua, wakil ketua, dan anggota yang
kesemuanya minimal berjumlah 15 orang dan
maksimal 25 orang anggota yang mewakili semua unsur.
Pasal
36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri
atas unsur:
- pemerintah;
- pelaku
usaha;
- Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- akademisi;
dan
- tenaga
ahli.
Penjelasan
Huruf
d
Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan
anggota perguruan tinggi.
Huruf
e
Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang
perlindungan konsumen.
Yang
dimaksud dengan akademisi adalah wakil perguran tinggi. Hendaknya jumlah wakil
dari tenaga ahli yang harus lebih banyak.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan
sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e.
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Syarat
yang tidak boleh diberlakukan sama untuk semua unsur anggota.
Pasal
38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
berhenti karena:
- meninggal
dunia;
- mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
- bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
- sakit
secara terus menerus;
- berakhir
masa jabatan sebagai anggota; atau
- diberhentikan.
Penjelasan
Huruf
d
Sakit
secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanaka tugasnya.
Kriteria
tidak mampu bersifat subjektif dan dapat mempengaruhi pelaksanaan tugas menjadi
tidak efektif.
Pasal
39
- Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu
oleh sekretariat.
- Sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
- Fungsi,
tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Kebutuhan
sekretaris sangat penting. Oleh karena itu, seharusnya ada syarat ditetapkan
untuk pengangkatan sekretaris.
Pasal
40
- Apabila
diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan
lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
- Pembentukan
perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Penjelasan
Ayat 2
Yang dirnaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan
musyawarah anggota
Pada
pasal ini perlu dipertanyakan cara pengambilan keputusannya. Penjelasannya hanya
diatur dalam musyawarah namun tidak diatur lebih rinci lagi.
Pasal
41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen
Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua
Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Penjelasan
Yang
dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah
keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota
Masih
sama dengan pasal sebelumnya yaitu meliputi cara pengambilan keputusan.
Pasal
42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan
sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan
ketentan pasal ini, Independensi BPKN jauh lebih penting dari sekedar bantuan
biaya.
Pasal
43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan
pasal ini sangat penting untuk menjelaskan dan menjabarkan lebih lanjut tentang
BPKN karena masih ada beberapa pasal yang belum dijelaskan atau dijabarkan.
BAB
9
LEMBAGA
PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
Pasal
44
- Pemerintah
mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat.
- Lernbaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
- Tugas
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
- menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
- bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
- membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau
pengaduan konsumen;
- melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Penjelasan
Ayat
1
Yang dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain,
terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Penjelasan
tentang syarat LPKSM tersebut sesungguhnya telah dapat diketahui dari pengertan
tersebut pada pasal 1 angka 9 UUPK. Kontrol LPKSM sendiri dapat dilakukan
melalui kehadiran dari UU Yayasan. Pendaftaran hanya sebagai alat kontrol tapi
masih harus diujikan pelaksanaannya. LPKSM itu sangat penting untuk memberikan
perlindungan konsumen dari arus bawah. LPKSM dapat bekerja sama dengan lembaga
internasional.
BAB
10
PENYELESAIAN
SENGKETA
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
45
Yang dirnaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan
musyawarah anggota
- Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
- Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
- Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak
menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
- Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang,
bersengketa.
Penjelasan
Ayat
2
Penyelesaian
sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Yang dimaksud dengan
penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah
pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan
atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.
Berdasarkan
pasla 45 ayat 1, penyelesaian sengketa atas dua pilihan yaitu melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan snegketa antara konsumen dan pelaku usaha dan
melalu peradilan umum. Yang menjadi persoalan adalah mengapa tidak menunjuk
secara langsung BPSK. BPSK sendiri harus mnyelesaikan sengketa berdasarkan
syariat Islam.
Pasal
46
- Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
- seorang
konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
- sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
- Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
- Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf
b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Penjelasan
Ayat
1
Huruf
b
Undang-undang
ini mengakui gugatan kelompok atau class
action. Gugatan kelompok atau class
action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Huruf
d
Tolok
ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai
adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Istilah pelanggaran dalam pasal 46 (1) memberikan
pemaknaan pelanggaran dalam hukum dapat diberi makna khusus. Pasal 46 ayat (2)
membedakan antara konsumen atau ahli warisnya di satu pihak, dan kelompok
konsumen, LPKSM. Ketiga pihak yang disebut terakhir hanya dimungkinkan
mengajukn gugatannya di peradilan umum. Penyelesaian sengketa di luar
pengadilan seolah berada dibawah peradilan umum.
Bagian
Kedua
Penyelesaian
Sengketa di luar Pengadilan
Pasal
47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penjelasan
Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa
pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali
perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
Ketentuan
pasal ini tidak jelas, apabila penyelesaian di luar pengadilan bertujuan untuk
mencapai kesepakatan, maka logika hukum akan menunjuk penyelesaian secara
mediasi atau konsiliasi dan bukan
melalui arbitrase.
Bagian
Ketiga
Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal
48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan
mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 45.
Syarat
penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan yaitu para pihak belum
memilih upaya di luar pengadilan dan upaya di luar pengadilan dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Adapun
kekurangan terhadap penyelesaian di pengadilan adalah sebagai berikut:
1.
Penyelesaian
relatif lambat:
2.
Biaya yang
mahal;
3.
Pengadilan pada
umumnya tidak responsif:
4.
Putusan yang
tidak menyelesaikan masalah;
5.
Kemampuan hakim
yang bersifat generalis.
BAB
11
BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal
49
- Pemerintah
membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
- Untuk,
dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- warga
negara Republik Indonesia;
- berbadan
sehat;
- berkelakuan
baik;
- tidak
pernah dihukum karena kejahatan;
- memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
- berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
- Anggota
sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
- Anggota
setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
- Pengangkatan
dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan
oleh Menteri.
Penjelasan
Unsur
konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
sekelompok konsumen.
Pembentukan BPSK hanya pada daerah tingkat II,
memperlihatkan bahwa putusan BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. Tugas
BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen di Luar pengadilan adalah tugas
pokok, sebab masih ada tuga slain dari BPSK. Menuntut di tempat tinggal
konsumen belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Pasal
50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
- ketua
merangkap anggota;
- wakil ketua
merangkap anggota;
- anggota.
Pasal
51
- Badan penyelesaian
sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
- Sekretariat
badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
- Pengangkatan
dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Ketentuan
pasal ini sangat ganjil karena pengangkatan dan pemberhentian sekretaris BPSK masih belum jelas.
Pasal
52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen meliputi:
- melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi
atau arbitrase atau konsiliasi;
- memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
- melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
- melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang ini;
- menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
- memanggil
pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
- memanggil
dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
- meminta
bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak
bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
- mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
- memutuskan
dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
- memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
- menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-undang ini.
Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diartikan
bahwa antara huruf a dan f memiliki makna yang sama dalam pelaksanaannya. Dalam
huruf b, c, dan e menjelaskan tentang tugas lain dari BPSK di samping tugas
pokoknya. Di korea, badan semacam BPSK dan BPKN berada dalam satu atap yang
sama.
Pasal
53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam
surat keputusan menteri.
Pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK sebagaimana
diatur dalam pasal 52 UPK di atas, kita masih harus menunggu keputusan menteri
yang ditentukan dalam pasal 53 tersebut.
Pasal
54
- Untuk
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa
konsumen membentuk majelis.
- Jumlah
anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
- Putusan
majelis bersifat final dan mengikat.
- Ketentuan
teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan
menteri.
Penjelasan
Ayat
3
Yang dimaksud dengan putusan majelis
bersifat final adalah bahwa dalam badan sengketa konsumen tidak ada upaya
banding dan kasasi.
Dapat
dipahami dari pasal ini yaitu:
1.
Eksistensi
panitera
2.
Penyelesaian
sengketa melalui mediasi ditentukan oleh kesepakatan para pihak sendiri.
3.
Pengaturan pasal
54 ayat (3) UUPK memenuhi ciri arbitrase modern.
Pasal
55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib
mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
setelah gugatan diterima.
Jangka waktu cukup baik untuk menghindari proses
penyelesaian sengketa berlarut larut.
Pasal
56
- Dalam waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian
sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut.
- Para pihak
dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
- Pelaku
usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
- Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan
putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan
penyidikan.
Dapat
dipahami dari pasal ini yaitu:
1.
Penetapan jangka
waktu pelaksanaan putusan yang keliru;
2.
Putusan majelis
bersifat final dan mengikat hanya dapat dimaknai pada upaya banding;
3.
Keberatan dan
banding, sama menganulir sifat putusan;
4.
Campur tangan
demikian besar bukan termasuk ciri arbitrase modern.
Pasal
57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54
ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat
konsumen yang dirugikan.
Dapat
dipahami dari pasal ini yaitu:
1.
Kemudahan untuk
meminta penetapan eksekusi;
2.
Melibatkan
pengadilan dalam eksekusi, ciri lembaga arbitrase sekaligus sebagai
kelemahannya.
Pasal
58
- Pengadilan
Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari
sejak diterimanya keberatan.
- Terhadap
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak
dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
- Mahkamah
Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
Dapat
dipahami dari pasal ini yaitu:
1.
Tahapan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan akhirnya juga menjadi 3 tahap;
2.
Sekalipun dapat
menjadi 3 tahapan, tetapi jangka waktu maksimum 100 hari.
BAB
12
PENYIDIKAN
Pasal
59
- Selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta
melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan
dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia.
- Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
Dapat
dipahami dari pasal ini yaitu:
1.
Wewenang khusus
sebagai penyidik kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu;
2.
Pemberitahuan
atas dimulainya penyidikan menjadi syarat menjalankan wewenang pejabat pegawai
negeri sipi;
3.
Tugas penyidikan
pejabat pegawai negeri sipil memiliki korelasi dengan tugas BPSK;
4.
Ada mata rantai
yang panjang, sebelum laporan diterima PPNS.
BAB
13
SANKSI
Bagian
Pertama
Sanksi
Administratif
Pasal
60
- Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
- Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
- Tata cara
penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Sanksi
Pidana
Pasal
61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku
usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal
62
- Pelaku
Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
- Pelaku
usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
- Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal
63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
- perampasan
barang tertentu;
- pengumuman
keputusan hakim;
- pembayaran
ganti rugi;
- perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
- kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
- pencabutan
izin usaha.
Dalam bab ini dapat ditarik beberapa
poin yaitu:
1. selama
ini pemahaman terhadap sanksi administratif tertuju pada sanksi berupa
pencabutan izin usaha atau sejenisnya.
2. Perbuatan
pidana oleh pelaku usaha yang berbadan hukum.
BAB
14
KETENTUAN
PERALIHAN DAN KETENTUAN PENUTUP
Pasal
64
Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus
dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
Berdasarkan pasal ini dapat dipahamai bahwa:
1. Ketentuan ini tidak lain
dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum;
2. UUPK bukan merupakan awal dan
akhir dari pengaturan hukum perlindungan konsumen di Indonesia, karena
ketentuan lain tetap berlaku dan yang terkait dengan perlindungan konsumen.
Pasal
65
Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Seperti
diketahui undang-undang ini disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April
1999, akan tetapi berdasarkan ketentuan penutup ini baru akan berlaku pada
tanggal 20 April 2000. Maksud dari penundaan itu adalah agar pada masa satu
tahun tersebut dapat dipergunakan untuk sosialisasi. Hal ini penting, mengingat
terlalu banyak hal baru yang belum dikenal
sebelumnya baik oleh konsumen mupun pelaku usaha. Demikian pula dimaksudkan
agar pemerintah dalam kurun waktu satu tahun itu dapat mempersiapkan segala
sesuatu yang diperlukan di dalam penegakan hukumnya.
0 comments:
Post a Comment